- Home
- Kulineran
Dimsum Sehat: Ketika Kudapan Tiongkok Bertemu Gaya Hidup Modern
Dimsum memiliki cita rasa gurih, lembut, dan umami yang cocok dengan lidah Indonesia. Format bite-sized juga membuat dimsum ideal untuk dinikmati bersama.
-800.jpg)
SOEAT - Biasanya, kudapan alias camilan seringkali menjadi pihak yang disalahkan, ketika jarum pada timbangan semakin mengarah ke kanan. Kudapan yang biasanya memiliki nilai kalori yang tinggi dan memiliki proses masak yang rumit (ultra processed food), merupakan asupan yang dianggap tidak diperlukan oleh tubuh.
Akan tetapi, bagaimana jika kudapan yang kita santap masuk dalam kategori sehat. Baik dari bahan baku penyusunnya, hingga ke proses memasaknya. Menyenangkan, bukan?
Salah satu kudapan yang diperhitungkan sebagai kuliner sehat, yakni dimsum. Seperti yang dibuat oleh Dimsum Inmons, yang memiliki kepedulian tinggi terhadap keberadaan dimsum sehat.
"Inginnya, agar masyarakat bisa menyantap dimsum tanpa rasa bersalah," ujar Owner Dimsum Inmons Ani Andriyani, ketika ditemui di sela-sela helaran Keuken SundayFunday yang berlangsung di POSCO Kantor Pos Besar, Jl. Asia Afrika, Kota Bandung, awal Agustus 2025.
Ada banyak faktor yang menyebabkan dimsum begitu pas di lidah masyarakat. Rasanya familiar, namun fleksibel. Dibandingkan dengan kudapan lain yang manis dan tinggi kalori, dimsum juga relatif lebih clean.
Dimsum memiliki cita rasa gurih, lembut, dan umami yang cocok dengan lidah Indonesia. Banyak pelaku usaha juga mengadaptasi isian dengan bahan lokal seperti ayam rica-rica, sambal matah, atau rendang.
Format bite-sized (porsi kecil) juga membuat dimsum ideal untuk dinikmati bersama, baik saat nongkrong, arisan, atau sekadar camilan sore. Di era serba cepat seperti saat ini, dimsum juga menawarkan kenyamanan. Tinggal kukus, sajikan, nikmati. Cocok untuk gaya hidup urban yang dinamis.
Jejak Sejarah Dimsum di Indonesia: Dari Tradisi Yum Cha ke Meja Nusantara
Dimsum, yang secara harfiah berarti “menyentuh hati”, berasal dari tradisi kuno Tiongkok bernama Yum Cha, kebiasaan minum teh sambil menikmati kudapan kecil. Tradisi ini berkembang sejak zaman Dinasti Tang (618–907 M), dan dimsum menjadi pelengkap sosial dalam rumah teh di Cina Selatan.
Dimsum dibawa ke Nusantara oleh para imigran Tionghoa yang menetap di wilayah pesisir seperti Batavia, Surabaya, dan Banten. Awalnya, dimsum hanya disajikan secara internal dalam komunitas Tionghoa, terutama saat perayaan keluarga dan festival.
Interaksi antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lokal mulai meluas. Toko makanan Tionghoa pun bermunculan di kota-kota pelabuhan, memperkenalkan dimsum ke publik yang lebih luas.
Seiring waktu, dimsum mengalami modifikasi agar sesuai dengan selera lokal. Isiannya menjadi halal, dengan bahan baku utama lokal seperti daging ayam, udang, dan jamur yang menggantikan babi sebagai bahan utama.
Bumbu khas Indonesia juga banyak digunakan. Seperti cabai, kecap manis, hingga rempah-rempah nusantara yang digunakan dalam aneka varian dimsum. Saat ini, bahkan muncul dimsum isi rendang, sambal matah, atau keju mozzarella untuk menarik generasi muda.
Dimsum telah menjadi bagian dari budaya kuliner Indonesia. Tak hanya di restoran Tionghoa, tapi juga di warung kaki lima, food truck, dan layanan pesan antar. Banyak restoran menawarkan konsep all you can eat, dan dimsum kini dinikmati sebagai sarapan, makan siang, atau camilan sore.
Bagaimana Mungkin Dimsum Menjadi Kudapan Rendah Kalori?
Ani, yang juga memiliki kepedulian dengan gaya hidup sehat, menginginkan dimsum yang diproduksinya rendah kalori. Daripada menggunakan banyak tepung tinggi kalori seperti terigu, ia menerapkan strategi yang berbeda.
Ani menyebutkan, saat ini dimsum yang banyak dicari adalah dalam versi sehat. Bayangkan jika adonannya sudah tinggi kalori, kemudian ditambahkan dengan isian yang juga punya nilai kalori tinggi, juga sausnya. Cukup menimbulkan rasa bersalah ketika menyantapnya, bukan?
Untuk bahan utama, ia menggunakan campuran fillet ayam di bagian paha, agar terasa lebih juicy. Ia juga menghindari penggunaan MSG.
"Kami tidak menggunakan MSG, tidak juga memakai tepung terigu. Jadi, kami menggunakan putih telur yang dicampur dengan tepung sagu, sebagai pengikat adonan. Dan ini pun hanya sekitar 1 persen dari total adonan, sehingga nutrisinya terjaga dan rendah kalori," tuturnya.
Selain itu, proses kukus juga disebutkan Ani menjadi daya tarik utama. Dibandingkan goreng dan panggang, metode memasak ini jauh lebih menyehatkan, sehingga cocok untuk masyarakat modern pelaku gaya hidup sehat.
Dengan demikian, popularitas dimsum bisa terus mengikuti tren gaya hidup sehat, yang menyenangkan semua orang. "Kami sebagai produsen dan suplier senang, konsumen juga senang," ujar Ani.***