1. Home
  2. Kulineran

Asal Usul Cuanki yang Disantap Bersama Bacang, Dimana Letak Kenikmatannya?

Tahu yang lembut, siomay dan cilok yang kenyal, serta bakso yang gurih, berpadu dengan nasi ketan yang menyerap rasa kuah secara perlahan.

Cuanki
Bacang yang menjadi salah satu keunikan menyantap cuanki di Cuanki Berkah Djaya, Jln. Bali No. 15A, Kota Bandung. (Soeat/Nday)

SOEAT - Menyantap cuanki bersama bacang adalah pengalaman multisensori. Kuah cuanki yang panas dan gurih menyelimuti lidah, sementara bacang memberikan kontras tekstur yang padat dan legit.

Tahu yang lembut, siomay dan cilok yang kenyal, serta bakso yang gurih, berpadu dengan nasi ketan yang menyerap rasa kuah secara perlahan. Ah, harus menyantapnya langsung untuk mendeskripsikan kenikmatannya.

Kedai Cuanki Berkah Djaya di Jalan Bali, Kota Bandung, menjadikan bacang sebagai bagian dari paket menu utama. Bacang di kedai ini diisi daging cincang yang dimasak dengan kecap manis dan rempah, cocok disantap bersama kuah kaldu tanpa MSG yang dibuat dari tulang sapi dan wortel.

Eits, tapi tunggu dulu. Menyantap cuanki bersama bacang, memang dimana letak kenikmatannya, selain (tentu saja) lebih wareg?

Menyatukan Dua Dunia

Cuanki
Seporsi cuanki di Cuanki Berkah Djaya, Jln. Bali No. 15A, Kota Bandung. Cuanki Berkah Djaya tergolong unik, karena disantap bersama beberapa topping menarik seperti bacang dan smoked brisket. (Soeat/Nday)

Tak sekadar asal memadupadankan, rupanya cuanki dan bacang memiliki sejarah panjang. Kombinasi ini jelas bukan sekadar pelengkap, tapi sebuah simfoni rasa yang menyatukan dua dunia: kuah dan ketan, Tionghoa dan Sunda, serta tradisi dan inovasi.

Cuanki dan bacang mungkin berasal dari akar budaya yang berbeda, namun ketika disandingkan, keduanya menciptakan pengalaman kuliner yang tak terlupakan. Ini bukan hanya soal rasa, tapi tentang bagaimana sejarah, adaptasi, dan kreativitas lokal menjadikan keduanya sebagai simbol akulturasi yang hidup di kalangan masyarakat.

Asal Usul Cuanki: Dari Choan Kie ke Pikulan Jalanan

Cuanki
Seporsi cuanki di Cuanki Berkah Djaya, Jln. Bali No. 15A, Kota Bandung. Cuanki Berkah Djaya tergolong unik, karena disantap bersama beberapa topping menarik seperti bacang dan smoked brisket. (Soeat/Nday)

Nama “cuanki” berasal dari hidangan Tionghoa berkuah bernama Choan Kie. Artinya berarti “rezeki”.

Pada awalnya, hidangan ini berupa bakso tahu kuah berbahan dasar daging babi, diproduksi oleh pabrik Choan Kie di Cimahi pada era 1960-an. Namun, pada dekade 1980-an, sejumlah mantan pegawai pabrik —kebanyakan dari Bandung, Garut, dan Ciamis, memodifikasi resepnya agar sesuai dengan selera masyarakat umum.

Daging babi diganti dengan ikan tenggiri, kuahnya disederhanakan, dan cara penyajiannya pun berubah: dari restoran menjadi pikulan keliling. Cuanki pun menjelma menjadi jajanan rakyat yang lebih merakyat.

Disajikan hangat, berkuah, dan dijajakan dengan cara berjalan kaki, cuanki menjadi simbol perjuangan dan kehangatan kuliner jalanan. Bahkan, istilah “Cuanki” sering dipelesetkan menjadi “Cari Uang Jalan Kaki” —sebuah reinterpretasi lokal yang lucu namun penuh makna.

Bacang: Ketan Berisi Sejarah dan Simbol Kemakmuran

Bacang
Bacang, makanan tradisional Tionghoa yang terbuat dari beras ketan yang diisi dengan berbagai bahan, seperti daging, jamur, telur asin, dan dibungkus dengan daun bambu, kemudian dikukus. (Wikimedia Commons/Zarate123)

Bacang atau zhongzi dalam bahasa Mandarin, adalah makanan tradisional Tionghoa yang dulu biasanya disajikan saat Festival Perahu Naga. Dibuat dari nasi ketan yang dibungkus daun bambu dan diisi daging cincang, kacang, atau telur asin, bacang melambangkan kemakmuran dan penghormatan terhadap leluhur.

Di Indonesia, bacang mengalami adaptasi. Dari versi babi menjadi ayam, sapi, atau bahkan vegetarian.

Di Bandung, bacang sering dijual sebagai kuliner yang mengenyangkan dan menghangatkan. Ia kerap dijajakan oleh pedagang kaki lima, terutama di malam hari. Bacang juga kini disajikan berdampingan dengan cuanki, terutama di gerobak atau kedai yang mengusung konsep fusion lokal.

Jadi, Dimana Letak Kenikmatannya?

Cuanki
Kuah kaldu panas tanpa MSG yang disiramkan ke atas seporsi cuanki, di Cuanki Berkah Djaya, Jln. Bali No. 15A, Kota Bandung. (Soeat/Nday)

Kebiasaan menyantap cuanki bersama bacang kemungkinan besar muncul dari tradisi keluarga Tionghoa di Bandung dan Cirebon. Masyarakat di dua daerah ini menyajikan berbagai hidangan berkuah dan kukusan dalam satu waktu.

Kombinasi ini mencerminkan akulturasi kuliner. Di dalamnya, ada perpaduan tekstur. Kuah hangat cuanki melengkapi bacang yang padat dan gurih.

Cerita lintas budaya ini juga dipercaya menjadi simbol keberuntungan. Cuanki sebagai “rezeki”, berpadu dengan dan bacang sebagai “kemakmuran” dalam budaya Tionghoa.

Tentu saja, masyarakat Sunda yang beragam menerima dan menggabungkan dua hidangan ini dalam satu pengalaman kuliner. Bagaimana persisnya kenikmatan yang dihasilkan? Kita jajal bersama, yuk!***