1. Home
  2. Kulineran

Daya Tarik Hadirnya Gerobak Jajanan di Dalam Restoran, Bukan Cuma Pajangan

Gerobak jajanan tradisional tampil kembali sebagai ikon sosial dan pengalaman konsumen.

Gulapadi
Salah satu Gerobak Gulapadi yang menyuguhkan berbagai jajanan tradisional yang siap menggoyang lidah. (Soeat/Nday)

SOEAT - Dalam dunia kuliner atau pedagang kaki lima, keberadaan gerobak jajanan tentu bukan hal baru. Keberadaanya begitu marak, bahkan bisa dibilang, menjamur dimana-mana.

Akan tetapi, di balik hiruk pikuk restoran fine dining dan kafe berkonsep estetik, sebuah fenomena menarik terjadi di dunia kuliner Indonesia. Gerobak jajanan tradisional tampil kembali sebagai ikon sosial dan pengalaman konsumen.

Tidak lagi sekadar pedagang kaki lima, gerobak kini menjadi elemen strategis dalam membangun pengalaman bersantap yang autentik dan emosional. Fenomena ini dapat kita lihat dengan jelas melalui pendekatan unik yang dilakukan oleh Gulapadi Bandung, sebuah warung makan di kawasan Jalan Asia Afrika yang menempatkan gerobak tradisional sebagai fokus utama pengalaman kuliner.

Ada pula beberapa destinasi kuliner yang lebih dulu menerapkan konsep ini. Sebut saja di berbagai hotel, food court, hingga restoran seperti The Kiosk dan Kampung Daun.

Gerobak Sebagai Visual Memori Kolektif

Bisa dikatakan, gerobak adalah bagian dari memori kolektif masyarakat Indonesia. Hampir semua orang punya cerita tentang jajan di gerobak dekat sekolah atau kantor.

Martabak mini
Gerobak Martabak Mini Pengkolan di sekitaran Jl. Patuha, Kota Bandung. (Soeat/Nday)

Gerobak jajanan tradisional juga memiliki kekuatan visual yang luar biasa. Bentuknya yang sederhana dan familiar membawa kita langsung ke memori masa kecil: beli gorengan saat pulang sekolah, sarapan lontong pagi-pagi di gang sempit, atau menikmati es tradisional di sore hari.

Dari sudut pandang psikolog komunikasi dan pemasaran, pengalaman visual yang memicu memori masa lalu dianggap mampu meningkatkan keterikatan emosional konsumen. Hal ini terlihat jelas dalam desain pengalaman di Gulapadi, di mana gerobak bukan sekadar dekorasi, melainkan panggung utama interaksi konsumen dengan makanan mereka.

Beberapa penelitian terhadap street food (kuliner pinggir jalan) juga menunjukkan ada beberapa faktor unggulan yang membuat makanan seperti yang dijual di gerobak diminati. Salah satunya, rasa yang autentik dan mampu memicu ingatan konsumen terhadap pengalaman sebelumnya.

Tempe
Tempe mendoan. (Soeat/Nday)

Riset yang dipublikasikan dalam Jurnal Akademik Pengabdian Masyarakat menunjukkan bahwa street food unggulan cenderung memiliki cita rasa autentik yang kuat. Selain itu, harga yang terjangkau, serta dapat mendorong konsumen menghargai serta merekomendasikan produk tersebut secara lisan (word of mouth).

Di Gulapadi, berbagai menu seperti aneka gorengan, jajanan tradisional, disajikan langsung dari gerobak. Ini juga menciptakan keterhubungan emosional yang mendorong konsumen tidak hanya mencicipi, tetapi terkesan, membicarakan, dan kembali lagi.

Gen Z dan Ketertarikan terhadap Jajanan Tradisional

Sebagai fenomena yang akrab di masyarakat, jajanan tradisional tetap kuat posisinya meskipun makanan modern menawarkan kemudahan dan variasi. Studi dari Jurnal Mutu Pangan Universitas IPB menunjukkan bahwa sekitar 79% responden dari berbagai kelompok usia menyukai jajanan tradisional karena rasa khasnya, harga terjangkau, bahan alami, serta kemampuannya melestarikan budaya lokal.

Namun, riset yang sama juga mencatat dinamika menarik. Konsumen muda cenderung lebih memilih makanan ringan modern karena alasan praktis dan kemasan yang menarik.

Fenomena ini menggambarkan bahwa nostalgia saja tidak cukup. Perlu ada elemen pengalaman dan konteks sosial yang kuat agar jajanan tradisional menarik minat generasi baru. Di sinilah gerobak menjadi alat strategis penyampaian pengalaman, yang tidak hanya bicara rasa, tetapi cerita.

Gulapadi
Gerobak kue ape di Gulapadi, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. (Soeat/Nday)

Ada pula penelitian yang berbicara tentang perilaku konsumen Indonesia, khususnya Generasi Z. Studi yang dipublikasikan di Discover Sustainability menunjukkan bahwa nilainya tidak hanya pada rasa, tetapi juga pada nilai keberlanjutan, lokalitas bahan, dan dukungan terhadap ekonomi lokal.

Dalam konteks ini, makanan tradisional yang umumnya menggunakan bahan lokal, terjangkau, dan diproduksi secara komunitas memberikan value proposition yang berbeda dan relevan bagi generasi muda. Dengan begitu, gerobak tidak hanya menghadirkan rasa lama yang akrab, tetapi juga berbicara tentang nilai yang kini digandrungi oleh konsumen muda: keberlanjutan, keautentikan lokal, dan hubungan sosial.

Interaksi Sosial yang Hilang

Dalam era digital di mana banyak orang makan seorang diri dengan ponsel di tangan, gerobak menawarkan sebuah pengalaman yang berlawanan dengan tren tersebut. Di Gulapadi Bandung, gerobak dibuat sebagai titik-titik pertemuan konsumen.

Gerobak tidak hanya dijadikan alat jualan, tapi juga strategi branding. Dengan mengangkat konsep gerobak, restoran yang mengadopsi gerobak seperti Gulapadi mampu membedakan diri dari kafe modern yang cenderung seragam.

Gerobak menjadi aset visual yang kuat di era media sosial. Dengan keberadaannya, otomatis mengundang perhatian dan melahirkan rasa penasaran. Banyak pengunjung yang secara spontan membagikan foto gerobak dan makanan tradisional mereka di feeds, tanpa stimulus promosi besar.

Gulapadi
Suasana di Warung Makan Gulapadi, Jln. Asia Afrika, Kota Bandung. (Soeat/Nday)

Selain itu, konsep ini bisa menciptakan pengalaman emosional yang lebih dalam bagi pengunjung. Dengan menghubungkan tradisi dengan modernitas, hal ini menjadi relevan bagi generasi muda sekaligus tetap akrab bagi generasi tua.

Selain itu, salah satu kekhawatiran terbesar soal jajanan tradisional adalah persepsi terhadap higienitas dan kenyamanan. Konsep penataan gerobak di dalam restoran menunjukkan bahwa gerobak tradisional dapat diintegrasikan dalam ruang modern dengan standar tinggi.

Kebersihannya terjaga, tata letak yang nyaman, memiliki estetika visual yang kuat. Ini mematahkan anggapan bahwa kuliner tradisional hanya cocok dalam konteks jalanan sederhana.***