1. Home
  2. Kulineran

Asal-usul dan Evolusi Sayur Lodeh, dari Dapur Bangsawan ke Lidah Rakyat

Lodeh adalah narasi rasa yang lahir dari dapur bangsawan Jawa, bertahan melewati dekade, dan kini hadir di meja makan rakyat dengan segala kesederhanaannya.

Dreezel
Sayur lodeh, menu makanan utama di Dreezel Coffee Jln. Terusan Sersan Bajuri, Bandung. (Soeat/Nday)

SOEAT - Bisa dikatakan, kehadiran sepanci lodeh hangat yang tepat berada di atas meja prasmanan di sayap ruangan Dreezel Coffee Lembang, menjadi daya tarik tersendiri. Tak hanya rumah makan tradisional di Jawa Tengah, kini beberapa tempat bersantap (atau bahkan tempat ngopi kalcer) di Jawa Barat pun, menyajikan sayur lodeh sebagai menu utama. Apa yang membuatnya sedemikian istimewa?

Ya, lodeh bukan sekadar sayur bersantan. Ia adalah narasi rasa yang lahir dari dapur bangsawan Jawa, bertahan melewati pergantian dekade, dan kini hadir di meja makan rakyat dengan segala kesederhanaannya. Dari keraton hingga warung tenda, dari ritual hingga comfort food yang menjadi simbol kehangatan keluarga.

Sejarah Semangkuk Lodeh: Dari Keraton ke Kampung

Dreezel
Lodeh prasmanan di Dreezel Coffee Jln. Terusan Sersan Bajuri, Bandung. (Soeat/Nday)

Menurut catatan sejarah, sayur lodeh dipercaya berasal dari masa kejayaan peradaban Jawa Tengah pada abad ke-10. Dalam artikel berjudul "Asal Usul Sayur Lodeh, Masakan Tradisional Jawa dengan Kisah Unik" yang dilansir Good News From Indonesia, disebutkan bahwa lodeh menjadi makanan penting saat letusan dahsyat Gunung Merapi pada tahun 1006. Kala itu, masyarakat membuat sayur bersantan dari bahan seadanya sebagai bentuk syukur dan perlindungan spiritual.

Dalam konteks keraton, lodeh bukan makanan sehari-hari. Ia disajikan dalam ritual tertentu, seperti wetonan (peringatan hari lahir berdasarkan kalender Jawa), slametan, atau upacara tolak bala.

Kuah santan putih melambangkan kesucian. Sementara, isian seperti terong dan kacang panjang menyimbolkan kesuburan dan panjang umur.

Evolusi Rasa dan Bahan

Dreezel
Berbagai menu makanan di Dreezel Coffee, Jalan Terusan Sersan Bajuri, Bandung. (Soeat/Nday)

Seiring waktu, lodeh mengalami banyak adaptasi. Dari dapur bangsawan yang menggunakan kaldu ayam kampung dan rempah halus, ia menjelma menjadi makanan rakyat yang fleksibel. Lodeh kini biasa dimasak dengan tempe, tahu, atau bahkan sisa sayur dari hari sebelumnya.

Berdasarkan beberapa literasi, kuah lodeh cukup beragam. Ada lodeh kuah putih, yang berasal dari kuah santan tanpa tambahan kunyit. Cita rasanya lebih lembut dan netral.

Ada pula lodeh kuning. Jenis lodeh ini menggunakan kunyit, yang memberi warna dan aroma khas.

Kita juga sering menemukan lodeh tempe semangit. Sesuai namanya, lodeh ini memakai tempe busuk (tempe kemarin) untuk rasa umami yang dalam. Di daerah pesisir utara Jawa, hadir pula lodeh terong dan petai.

Bumbu dasar lodeh biasanya terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, lengkuas, daun salam, dan santan. Namun di beberapa daerah, ditambahkan kencur, terasi, atau bahkan cabai hijau utuh untuk sensasi pedas ringan.

Lodeh sebagai Medium Sosial dan Spiritual

Dreezel
Sayur lodeh dan beberapa menu lainnya di Dreezel Coffee, Jalan Terusan Sersan Bajuri, Bandung. (Soeat/Nday)

Dalam masyarakat Jawa, makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga medium komunikasi sosial dan spiritual. Lodeh sering hadir dalam ritual tolak bala, seperti “lodeh tujuh rupa”. Ini merupakan sayur lodeh dengan tujuh jenis isian yang dimasak bersama untuk menangkal pagebluk atau wabah.

Dalam jurnal Food and Ritual in Java oleh Hildred Geertz (1981), disebutkan bahwa makanan seperti lodeh berfungsi sebagai “penanda batas antara dunia profan dan sakral.” Ia bukan hanya mengenyangkan, tapi juga menenangkan.

Kini, lodeh tak lagi eksklusif milik dapur tradisional. Ia hadir di warung makan, prasmanan hotel, hingga kafe modern yang menyajikan “lodeh vegan” atau lodeh dengan plating yang lebih estetik.

Di media sosial, lodeh mulai muncul sebagai konten nostalgia. Biasanya, kehadirannya disandingkan dengan caption seperti “rasa ibu,” “masakan nenek,” atau “comfort food sejati". Selain terlihat lezat, kehadirannya juga membuat suasana menjadi hangat. ***