- Home
- Nusarasa
Seblak: Makanan, Interaksi, dan Social Currency
Biarlah seblak menjadi contoh bahwa untuk naik kelas, tidak usah merubah identitas.

SOEAT – Seblak telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Bandung dan Jawa Barat. Makanan ini mencerminkan kekayaan kuliner Indonesia sekaligus menjadi simbol kreativitas serta kearifan lokal.
Di era ketika makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga identitas dan eksistensi digital, seblak menjelma dari sekadar camilan pedas menjadi simbol interaksi sosial dan "mata uang" budaya. Ia bukan hanya mengisi perut tapi juga linimasa.
Dari warung pinggir jalan hingga unggahan Instagram yang estetis, seblak telah menempati ruang yang lebih luas dari sekadar dapur rumahan. Ia hadir dalam obrolan tongkrongan, konten mukbang, hingga meme yang viral.
Seblak juga menjadi bagian dari gaya hidup, terutama di kalangan generasi muda. Menurut jurnal berjudul Tren Kuliner Seblak Sebagai Faktor Pendukung Perekonomian Masyarakat, didapati bahwa 92% responden milenial pernah mengonsumsi seblak.
Sebanyak 93,5% menyatakan bahwa seblak berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa seblak bukan sekadar tren kuliner, tapi juga fenomena sosial yang membentuk pola konsumsi dan interaksi.
Guru Besar Bidang Sosiologi Universitas Pendidikan Indonesia yang juga memiliki ketertarikan terhadap kajian Sosio-pariwisata, Elly Malihah, meyakini bahwa kuliner menjadi salah satu penanda dari masyarakat atau kelompok orang, bahkan kelas. Singkatnya, makanan adalah ciri budaya. Seblak adalah sedikit contoh kuliner yang bisa menjungkirbalikkan fakta tersebut.
Dia mencontohkan, rendang identik dengan makanan khas Padang yang pedas dan kaya akan rempah. Sushi identik dengan Jepang. Gado-gado identik dengan masyarakat Betawi. Pun dengan tempat makan, yang bisa menjadi penanda dari kelas sosial mana mereka berasal.
"Mereka yang mampu mengkonsumsi banyak daging identik dengan masyarakat yang memiliki uang banyak. Sehingga, mereka yang makan all you can eat dianggap golongan ekonomi mapan," tuturnya.
Oleh seblak, anggapan itu diluluhlantakkan. Orang yang makan seblak tak bisa disamaratakan berasal dari golongan yang sama. Terlebih, seblak kini juga masuk ke kafe, restoran, hingga hotel berbintang. Hampir semua orang kini mengonsumsinya.
"Seblak yang menjadi salah satu kuliner yang identik dengan urang Sunda pun, sekarang sudah dikonsumsi oleh orang dari berbagai kalangan dan menyebar ke seluruh wilayah, termasuk ke luar negeri," kata dia.
Jalan Mulus Seblak Naik Kelas
Elly Malihah menyatakan, penyebaran seblak bisa juga dikaji dari teori difusi kebudayaan, yang menjelaskan bagaimana makanan khas suatu daerah atau kelompok masyarakat bisa menyebar luas, bahkan hingga ke mancanegara. Teori ini menjelaskan beberapa faktor pendorong persebaran budaya, termasuk makanan sebagai produk budaya. Persebarannya antara lain terjadi melalui migrasi dan interaksi antarmasyarakat.
Di era saat ini ketika pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain sangat mudah, seblak menemukan jalan mulus untuk diperkenalkan oleh orang Sunda yang merantau dan berinteraksi dengan masyarakat lain. Atau, oleh mereka yang datang ke daerah asal makanan -dalam hal ini seblak di Bandung.
Pendatang mencicipi dan berbagi cerita. Selanjutnya, media informasi terutama media sosial, semakin menancapkan daya tarik seblak.
Itu pula sebabnya, seblak yang dijajakan di kota lain atau bahkan di luar negeri, diberi embel-embel "dari Bandung". Pelokalan tersebut, menambah nilai jual seblak sebagai representasi identitas masyarakat Bandung di luar daerahnya.
Merekam Perubahan Pola Makan Masyarakat Urban
Masuknya seblak dari kaki lima ke bintang lima, kata Elly Malihah, lantaran dibuat dan disajikan secara lebih menarik oleh koki-koki profesional. Sehingga, keberadaannya bisa naik kelas dan dikonsumsi oleh mereka yang berada di status sosial menengah dan atas.
"Maka dari itu, seblak tidak perlu mengubah identitas dan berganti nama atau rasa. Biarlah seblak tetap menjadi seblak sebagai identitas kuliner yang disukai berbagai kalangan. Biar juga seblak menjadi contoh bahwa untuk naik kelas, tidak usah merubah identitas," ujarnya.***