1. Home
  2. Nusarasa

Bukan Soto Biasa: Tauto Pekalongan Perpaduan Tionghoa, India, dan Jawa dalam Satu Mangkuk

Nusarasa

Kenali tauto Pekalongan, makanan berkuah tradisional Indonesia dengan sejarah panjang. Tauco khas dan kuah merah kecoklatan menjadikannya warisan kuliner.

Soto Pekalongan
Soto Pekalongan - WWikimedia

SOEAT - Di Pekalongan, kota batik yang juga dikenal sebagai persimpangan budaya di pesisir utara Jawa, tersimpan sebuah hidangan berkuah yang tak banyak ditemukan di tempat lain: tauto. Namanya mungkin terdengar seperti turunan dari soto, tapi kuah merah kecoklatan yang kental dan aroma tauco yang khas langsung menyadarkan kita bahwa tauto berdiri dengan identitasnya sendiri.

Lebih dari sekadar sajian tradisional, tauto adalah cerminan dari akulturasi budaya yang hidup dan bernapas. Di dalam setiap sendoknya, hadir jejak-jejak India, Tionghoa, dan Jawa yang membaur tanpa saling meniadakan.

Warisan Kuliner dari Jalur Dagang

Sejarah tauto tak bisa dilepaskan dari posisi strategis Pekalongan sebagai kota dagang. Para pedagang Tionghoa membawa caudo—versi awal soto Tionghoa—ke Semarang dan pesisir Jawa. Dari sana, kuliner ini berevolusi di Pekalongan dengan tambahan bumbu fermentasi khas India: tauco.

Nama tauto sendiri muncul dari penyatuan dua kata: caudo dan tauco. Kombinasi ini bukan hanya linguistik, tetapi juga gastronomis. Tauco sebagai bumbu utama memberi sentuhan gurih-manis yang membedakannya dari soto-soto lain di Nusantara.

Seiring waktu, masyarakat pribumi ikut mengadaptasi rasa, menyesuaikan dengan bahan dan bumbu lokal. Hasilnya adalah tauto, hidangan yang bukan hanya enak, tetapi juga kaya makna sosial dan sejarah.

Tauco: Rasa yang Mengikat Semua Unsur

Tauco
Tauco - Wikimedia

Kunci utama tauto ada pada tauco Pekalongan. Dibuat dari kedelai pilihan dan difermentasi secara tradisional, tauco di sini memiliki butiran yang besar dan warna kemerahan. Rasanya pun unik—manis, sedikit asin, dan beraroma kuat. Tidak semua jenis tauco bisa menggantikan karakter ini, karena proses fermentasinya diwariskan secara turun-temurun di Pekalongan.

Penggunaan tauco yang cukup banyak menjadikan kuah tauto lebih dari sekadar kaldu. Ia berperan sebagai pengikat rasa, pengental alami, dan elemen utama yang membentuk warna dan aroma khas. Ketika dicampur dengan kecap manis dan berbagai rempah, kuahnya berubah menjadi merah kecoklatan yang pekat, berminyak, dan memikat.

Kuah, Bumbu, dan Teknik Rasa

Tidak seperti soto bening pada umumnya, kuah tauto tampil tebal dan berwarna gelap. Ini hasil dari perpaduan tauco dan kecap manis, yang menyatu bersama bumbu rempah seperti kemiri, jahe, lengkuas, serai, pala, dan cabai merah. Aroma yang keluar saat mendidih pun menandakan bahwa ini bukan sembarang sup—ini adalah karya rasa hasil akulturasi.

Teknik memasaknya membutuhkan ketelitian. Perbandingan antara tauco dan kecap manis harus tepat. Terlalu banyak tauco bisa membuat kuah terasa terlalu asin, sementara dominasi kecap akan mengaburkan karakter utama hidangan. Inilah tantangan sekaligus keahlian yang dimiliki para penjaja tauto legendaris di Pekalongan.

Daging Kerbau dan Mie Putih: Ciri yang Tak Tergantikan

Tauto Pekalongan
Tauto Pekalongan - indonesianchefassociation.com

Salah satu unsur unik dari tauto Pekalongan adalah pilihan proteinnya: daging kerbau. Dulu, ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada budaya Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Kini, penggunaan daging kerbau tak hanya soal etika, tapi juga selera. Teksturnya yang khas dan rasa yang kuat cocok berpadu dengan kuah tauto yang pekat.

Tauto biasanya disajikan bersama nasi putih, lontong, atau ketupat. Dalam satu mangkuk, bisa ditemukan irisan daging, jeroan, mie putih atau soun, taburan bawang goreng, dan seledri segar. Tak lupa sambal cabai dan kerupuk sebagai pelengkap—menambah tekstur sekaligus kontras rasa yang memikat.

Simbol Toleransi dalam Sajian

Lebih dari sekadar menu makan siang, tauto merepresentasikan nilai toleransi yang hidup dalam masyarakat Pekalongan. Di dalam satu mangkuk tauto, ada jejak India lewat fermentasi tauco, warisan Tionghoa dalam struktur hidangan, dan kearifan lokal Jawa yang menjadikan rasa lebih dekat dan bersahabat.

Perpaduan ini menciptakan lebih dari sekadar rasa—ia menjadi narasi multikulturalisme. Bukan kebetulan jika Pekalongan disebut sebagai salah satu kota paling terbuka dan beragam secara budaya. Dan tauto, secara diam-diam, menjadi bukti paling nyata dari keharmonisan itu.

Dari Warung Kaki Lima ke Peta Kuliner Indonesia

Tauto hari ini masih bertahan di berbagai sudut Pekalongan, dari warung kaki lima hingga rumah makan legendaris yang mempertahankan resep turun-temurun. Di luar kota, namanya belum sepopuler soto Lamongan atau coto Makassar. Keterbatasan bahan—terutama tauco khas—membuatnya sulit direplika secara massal.

Upaya pelestarian terus dilakukan. Beberapa komunitas kuliner dan pemerintah setempat mulai mendokumentasikan resep, mengadakan festival kuliner, dan mempromosikan tauto lewat media sosial. Di era digital, cita rasa lokal seperti ini punya peluang untuk menembus batas geografis.

Tauto di Masa Depan: Warisan yang Perlu Dijaga

Tauto Pekalongan bukan sekadar kuliner daerah—ia adalah pernyataan identitas. Dalam lanskap makanan berkuah Indonesia, tauto menempati posisi unik sebagai simbol dari kekayaan budaya dan keberagaman rasa.

Pelestarian tauto bukan hanya soal mempertahankan rasa, tapi juga menjaga narasi toleransi dan akulturasi yang telah lama menjadi kekuatan Indonesia. Sebab di dalam setiap mangkuk tauto, kita tidak hanya menemukan rasa, tapi juga sejarah, nilai, dan pelajaran tentang hidup berdampingan dalam perbedaan.***