- Home
- Nusarasa
Ternyata Bukan Cuma Nama, Ini Sejarah Unik Soto, Coto, Sroto, dan Tauto di Nusantara
Soto Indonesia punya banyak wajah. Temukan perbedaan soto, coto, sroto, dan tauto yang menyimpan jejak sejarah dan budaya kuliner Nusantara.

SOEAT - Di balik hangatnya semangkuk kuah beraroma rempah, Indonesia menyimpan empat hidangan berkuah yang sering dikira serupa namun memiliki kisah yang sangat berbeda. Empat nama yang mengundang selera—soto, coto, sroto, dan tauto—merupakan penanda sejarah, budaya, dan identitas lokal dari berbagai penjuru Nusantara.
Dari dapur keraton hingga kaki lima, dari peranakan Tionghoa hingga pengaruh India, keempat sajian ini berkembang melalui jalur perdagangan, akulturasi budaya, dan kreativitas masyarakat lokal. Masing-masing membawa cerita panjang yang kini tersaji di atas meja makan Indonesia.
Soto: Dari Caudo ke 75 Variasi Nusantara
Asal mula soto bisa dilacak ke abad ke-19, saat imigran Tionghoa memperkenalkan makanan bernama caudo atau jao to di kota pelabuhan Semarang. Dalam dialek Hokkian, jao to berarti “jeroan berempah”. Saat pertama kali dijual, isiannya menggunakan daging babi, namun kemudian beradaptasi dengan selera dan norma mayoritas Muslim di Jawa: daging babi diganti ayam, sapi, atau kerbau.
Pikulan pedagang Tionghoa menjadi media awal penyebaran soto di berbagai sudut kota. Seiring waktu, soto melebur dalam budaya lokal dan melahirkan lebih dari 75 varian di seluruh Indonesia. Ada soto Betawi yang gurih karena santan, soto Lamongan dengan koya kuning khas, atau soto Kudus yang hadir dalam porsi mungil.
Keberhasilan soto sebagai kuliner nasional tak lepas dari kemampuannya bertransformasi: satu konsep dasar, berpuluh-puluh wajah berbeda di tiap daerah.
Coto: Warisan Kerajaan Gowa yang Tetap Berkelas
Berbeda dengan soto, coto Makassar lahir lebih awal—sekitar abad ke-16—dan punya latar sejarah aristokratik. Di masa kejayaannya, Kerajaan Gowa menjadikan coto sebagai sajian eksklusif untuk kalangan bangsawan. Daging sapi pilihan disajikan untuk raja dan petinggi, sementara bagian jeroan menjadi milik rakyat jelata.
Namun justru jeroan inilah yang hari ini membuat coto Makassar terkenal: lembut, kaya bumbu, dan disajikan dengan sambal tauco serta ketupat. Kuahnya yang pekat menggambarkan pengaruh Tionghoa yang masuk melalui pelabuhan-pelabuhan dagang di Sulawesi Selatan.
Penggunaan sambal tauco yang khas, serta teknik memasak yang lama dan sabar, menjadikan coto sebagai simbol kuliner Makassar yang kuat dan berkarakter. Coto bukan sekadar makanan, tapi cerminan status sosial dan akulturasi yang panjang.
Sroto: Kreativitas Banyumas dalam Semangkuk Kuah Kacang
Di tanah ngapak, tepatnya di Sokaraja, Banyumas, hadir satu jenis soto yang berbeda dalam segala hal—sroto. Namanya mencerminkan gaya menyantapnya: diseruput hingga tetes terakhir. Tapi yang paling membedakan adalah bumbunya. Jika soto biasanya bening atau santan, maka sroto hadir dengan sambal kacang tumbuk yang langsung dicampur ke dalam kuah.
Kuah kacang inilah yang memberikan tekstur kental dan rasa gurih manis pedas yang sangat khas. Biasanya disajikan dengan lontong, irisan kol, suwiran ayam, dan tak ketinggalan remasan kerupuk merah muda sebagai penambah keseruan rasa.
Meski tak sepopuler soto Lamongan atau Betawi, sroto Sokaraja adalah primadona bagi warga Banyumas dan sekitarnya. Rasanya yang khas membuatnya terus dibawa oleh para perantau, memperluas jejaknya ke kota-kota besar tanpa kehilangan identitas lokal.
Tauto: Persimpangan Rasa di Pekalongan
Jika soto berasal dari caudo, maka tauto adalah bentuk transformasi yang lebih jauh. Di Pekalongan, kota pesisir yang menjadi titik temu pedagang Tionghoa dan India, caudo diadaptasi menjadi hidangan lokal dengan nama baru: tauto.
Keunikan tauto Pekalongan ada pada penggunaan tauco—bumbu fermentasi kedelai khas kuliner Tionghoa yang juga populer di masakan India. Ditambah mie putih, irisan daging kerbau, dan sambal tauco khas Pekalongan, tauto menjelma jadi perpaduan rasa yang sulit dilupakan.
Pilihan daging kerbau bukan tanpa alasan. Di masa lalu, penggunaan kerbau dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai Hindu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. Dari sini, tauto bukan hanya sekadar kuliner, tapi juga cerminan toleransi dan akulturasi budaya yang mengakar.
Lebih dari Sekadar Semangkuk Kuah
Soto, coto, sroto, dan tauto adalah saksi hidup perjalanan sejarah kuliner Nusantara. Empat nama ini membawa identitas daerah masing-masing, sekaligus menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia membentuk rasa dari percampuran budaya yang kaya.
Tak sekadar enak di lidah, keempat hidangan ini menggambarkan bagaimana dapur Indonesia tak pernah berhenti berinovasi. Dari keraton hingga kampung, dari masa lalu hingga masa kini, mereka tetap hangat diseruput—dan tetap relevan dalam setiap zaman.