- Home
- Nusarasa
Mirip Tapi Tak Sama! Ini Perbedaan Coto Makassar, Tauto Pekalongan, Sroto Banyumas, dan Soto
Empat makanan berkuah tradisional Indonesia—soto, coto, sroto, dan tauto—punya rasa, bahan, dan cerita budaya yang sangat berbeda.

SOEAT - Empat sajian berkuah dari Indonesia ini sering kali dianggap serupa karena namanya yang terdengar mirip.
Di balik kemiripan itu, tersimpan sejarah panjang, identitas budaya, serta karakter rasa yang sangat berbeda.
Dari kerajaan kuno di Sulawesi hingga lorong pasar di Pekalongan, inilah kisah empat hidangan berkuah legendaris: soto, coto, sroto, dan tauto.
Menelusuri Asal-Usul: Jejak Sejarah yang Berbeda Arah
Coto Makassar tercatat sebagai yang tertua. Muncul sekitar tahun 1538, hidangan ini awalnya hanya dinikmati para bangsawan Kerajaan Gowa. Daging pilihan dan jeroan sapi diracik dalam kuah pekat penuh rempah yang disebut rampa patang pulo—40 jenis rempah yang tak semua dimasak terburu-buru.
Berabad kemudian, soto hadir di kota pelabuhan Semarang lewat jalur migrasi para pedagang Tionghoa. Berasal dari istilah caudo, hidangan ini bertransformasi menjadi soto ketika masyarakat lokal mulai mengadaptasinya—mengganti daging babi dengan ayam atau sapi, menyesuaikan selera mayoritas Muslim di Jawa.
Sementara itu, sroto muncul sebagai interpretasi lokal masyarakat Banyumas terhadap soto. Tak ada catatan pasti soal asal muasalnya, tapi satu yang jelas: sambal kacang dalam kuah bening menjadi pembeda utamanya. Rasanya lebih dekat ke rumah, lebih akrab, lebih santai.
Tauto dari Pekalongan punya kisah berbeda. Ia adalah hasil kawin silang kuliner antara pengaruh Tionghoa dan India. Dari caudo lahir nama baru, ditambahkan tauco fermentasi kedelai, dan dipadukan dalam kuah merah kecoklatan yang kental. Dalam setiap sendoknya, tauto menyampaikan pesan multikulturalisme ala kota pelabuhan.
Kuah, Bumbu, dan Rasa: Membedah Karakter Setiap Mangkok
Soto tampil paling beragam. Ada yang bening seperti soto Kudus, kuning dari kunyit seperti soto Banjar, hingga bersantan seperti soto Betawi. Ringan di lidah, fleksibel dalam isi, dan mudah disesuaikan dengan bahan lokal.
Coto sebaliknya: gelap, pekat, dan berlapis rasa. Kacang tanah dan tauco yang ditumbuk menjadi dasar kuah, lalu dimasak lama bersama jeroan. Kompleksitasnya membuatnya susah ditiru, tapi justru di sanalah letak kemewahannya.
Sroto punya tekstur kuah yang unik—tidak sekental coto tapi tetap berisi. Sambal kacang yang diaduk langsung ke dalam kuah menciptakan sensasi gurih dan manis dalam satu tarikan sendok. Disajikan bersama ketupat, suwiran ayam kampung, dan kerupuk warna-warni, sroto seolah mengundang untuk diseruput perlahan.
Tauto berbeda lagi. Warna kuahnya merah kehitaman, berminyak namun tajam aromanya. Tauco menjadi tulang punggung rasa. Mie putih, nasi atau lontong, dan potongan daging kerbau menjadikannya sajian yang unik—berbeda dari apapun yang Anda temui di luar Pekalongan.
Dari Isi hingga Penyajian: Ragam yang Menentukan Karakter
Soto, dengan ragamnya yang meluas dari Sumatra hingga Papua, memanfaatkan berbagai protein—ayam, sapi, bahkan bebek. Disajikan dengan nasi putih, ketupat, emping, atau koya, ia bisa tampil mewah atau sangat sederhana, tergantung tempat dan tangan yang mengolahnya.
Coto lebih konsisten: sapi dan jeroan adalah inti. Disandingkan dengan ketupat atau buras, ditambah sambal tauco dan irisan bawang goreng, seporsi coto selalu terasa seperti hidangan istimewa meski dijajakan di warung sederhana.
Sroto khas Banyumas menonjol dengan ketupat yang langsung dicampur dalam mangkuk, dilengkapi dengan mendoan hangat yang baru diangkat dari wajan. Rasanya bersahabat, tanpa kesan mewah—mewakili gaya hidup orang ngapak yang apa adanya.
Tauto membawa kombinasi nasi, lontong, soun, dan kerupuk ke dalam satu sajian. Meskipun secara visual terlihat acak, dalam harmoni rasa, tauto menyatu utuh—mewakili toleransi dan keterbukaan Pekalongan pada pengaruh budaya luar.
Persebaran, Nilai Budaya, dan Masa Depan
Soto adalah kuliner paling adaptif. Lebih dari 75 varian tersebar di 22 daerah di Indonesia. Dari franchise hingga produk instan, dari sajian rumahan hingga hotel bintang lima—soto selalu bisa menyesuaikan diri.
Coto tetap eksklusif. Sulit dipisahkan dari Makassar dan sekitarnya. Kompleksitas bumbunya menjadikannya kandidat kuat untuk kuliner premium—lebih cocok untuk wisata kuliner daripada franchise.
Sroto, meski tak menyebar seluas soto, tetap bertahan lewat komunitas perantau Banyumas. Mendoan dan kerupuk merahnya selalu menciptakan nostalgia yang dibawa ke kota-kota besar.
Tauto paling rentan punah. Keterbatasan bahan—terutama tauco khas Pekalongan—membuatnya sulit direplikasi di tempat lain. Tapi di sisi lain, hal ini justru menjadikannya otentik dan bernilai sejarah tinggi.
Menyimpan Rasa, Menjaga Warisan
Empat nama: soto, coto, sroto, tauto—adalah lebih dari sekadar makanan. Masing-masing mencerminkan masyarakat yang melahirkannya. Soto yang terbuka dan demokratis. Coto yang aristokratik. Sroto yang santai dan penuh kreativitas. Tauto yang multikultural dan penuh toleransi.
Di era ketika makanan bisa viral dalam hitungan detik, keempat hidangan ini mengingatkan kita pada nilai yang lebih dalam: bahwa dalam semangkuk kuah, tersimpan identitas, perjalanan sejarah, dan cita rasa yang membentuk siapa kita sebagai bangsa.***