- Home
- Kulineran
Evolusi Roti Jadul, Dari Warisan Belanda hingga Kebangkitan Bakery Lokal
Roti jadul bukan sekadar pangan, tapi simbol kehangatan rumah, nostalgia masa sekolah, dan aroma pagi yang tak tergantikan.
-800.jpg)
SOEAT - Ada pepatah mengatakan, tak ada yang benar-benar baru dalam sebuah tren. Rupanya, itu berlaku juga dalam dunia kuliner, termasuk sebuah roti.
Di tengah gempuran roti-roti modern yang tampil menggoda dengan lapisan mentega berkilau, isian matcha, atau teknik fermentasi ala Prancis, roti jadul tetap bertahan di hati banyak masyarakat Indonesia. Keberadaannya tidak begitu menimbulkan keriuhan, dan tampilannya tidak begitu mencolok. Akan tetapi, keberadaan roti jadul nyaris selalu dirindukan.
Roti jadul adalah roti yang kita kenal sejak kecil. Ia padat, hangat, dan sederhana. Roti jenis ini bukan sekadar pangan, tapi simbol kehangatan rumah, nostalgia masa sekolah, dan aroma pagi yang tak tergantikan.
Di Indonesia, khususnya di kota-kota seperti Bandung, roti jadul bukan hanya bertahan. Ia berevolusi. Dari warisan kolonial Belanda hingga kebangkitan bakery lokal yang mengusung semangat fresh from the oven, roti jadul telah menempuh perjalanan panjang.
Kemunculan Roti Segar by BonBake yang viral di media sosial dan dipenuhi antrean pengunjung, merupakan salah satu bukti bahwa roti jadul tak pernah padam. Dikemas dengan gaya pemasaran dan pengelolaan kekinian, roti jadul justru menjadi sebuah tren kuliner yang kian menarik berbagai kalangan.
Roti, Sang Sajian Elite Kolonial
Dalam buku "Jejak Rasa Nusantara", Fadly Rahman menjelaskan bahwa makanan di Indonesia tidak hadir begitu saja. Keberadaannya melalui proses historis yang panjang, termasuk pengaruh kolonial Eropa terhadap pola konsumsi masyarakat.
Roti, sebagai produk berbasis gandum, diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan awalnya hanya dikonsumsi oleh kalangan elite kolonial. Ini menjadikan roti sebagai simbol status dan modernitas pada masa itu.
Roti bergaya Eropa seperti melkbrood, saucijsbrood, dan ananastaart menjadi bagian dari Indische keuken (dapur percampuran antara kuliner Belanda dan lokal). Toko-toko roti seperti Het Snoephuis (Sumber Hidangan) di Bandung adalah contoh nyata dari warisan ini.
Dalam buku itu, Fadly juga menyoroti bagaimana masyarakat lokal, terutama komunitas Tionghoa, mulai mengadaptasi roti dengan bahan dan teknik yang lebih sederhana. Ini melahirkan roti-roti yang kini kita kenal sebagai roti jadul: padat, berisi, dan dijual di toko-toko kecil atau warung kopi.
Ciri Khas Roti Jadul, Tak Lekang Dilibas Zaman
Jika diperhatikan, ada beberapa ciri khas yang disematkan pada roti jadul, alias roti "zaman dulu". Roti jadul cenderung lebih padat dan mengenyangkan dibanding roti modern yang airy dan ringan.
Tekstur roti jadul lebih lembut, tapi tidak mudah hancur. Ini karena penggunaan telur dan mentega dalam jumlah cukup, seperti pada roti bluder yang terkenal sejak zaman Belanda.
Bagaimana dengan rasanya? Rasa roti jadul pada umumnya tidak terlalu manis, namun juga tidak terlalu gurih. Roti jadul punya rasa yang pas di lidah. Margarin, gula, dan kadang susu kental manis digunakan sebagai olesan atau isian, menciptakan rasa yang membumi dan akrab.
Isiannya pun relatif sederhana dan (terkadang) nostalgik. Misalnya cokelat meses atau buttercream, keju olahan (campuran cheddar dan mentega), kelapa parut manis, kacang hijau rebus, selai srikaya atau nanas, atau potongan pisang yang sudah ditumis.
Secara tampilan, roti jadul juga tidak mengandalkan estetika berlebihan. Bentuknya oval, lonjong, atau persegi panjang.
Permukaannya juga kadang mengilap karena semiran kuning telur atau margarin. Hal ini sering terlihat pada roti semir.
Kemasannya pun relatif sederhana. Banyak roti jadul dikemas dalam plastik bening atau kertas minyak, tanpa branding mencolok. Ini menambah kesan otentik dan membumi.
Selain itu, roti juga jadul punya nama khas yang masih dikenali hingga kini. Sebut saja roti bluder, roti keset (sobek), roti sisir, roti semir, atau roti gambang.
Tren Roti Jadul di Bandung
Di beberapa kota besar seperti Bandung, roti jadul tak hanya bertahan, namun juga berevolusi. Bahkan, Bandung punya banyak toko roti legendaris yang sudah berdiri sejak zaman Hindia-Belanda.
Misalnya Sumber Hidangan (1929) yang dahulu bernama Het Snoephuis. Toko roti di kawasan Jl. Braga ini menyajikan roti Belanda klasik seperti ananastaart, melkbrood, dan saucijsbrood.
Bawean Bakery (1946), juga tidak bisa dilepaskan dari keberadaan roti jadul di Bandung. Awalnya bernama Sweetheart, Bawean Bakery menawarkan lebih dari 40 jenis roti dan cake bergaya klasik.
Ada pula Toko Sidodadi (1954), di kawasan Jl. Otto Iskandar Dinata (Otista). Toko roti ini terkenal dengan roti isi yang besar dan padat, seperti cokelat, sosis, dan smoked beef.
Toko-toko ini tidak hanya menjual roti, tapi juga menyimpan sejarah dan atmosfer tempo dulu. Mulai dari interior, alat masak, hingga cara pelayanan.
Ada beberapa faktor yang menyebutkan alasan mengapa roti jadul kembali populer. Salah satunya yakni nostalgia. Banyak generasi muda mencari rasa “rumahan” yang otentik dan tidak terlalu manis.
Gaya hidup retro dan pencarian kuliner autentik juga membuat roti jadul kembali diminati. Selain itu, kualitasnya tentu tak diragukan. Roti jadul kerap dibuat tanpa pengawet, yang dibuat dengan resep lama dan teknik tradisional, dengan sedikit modifikasi.
Pengaruh tren roti jadul juga cukup signifikan terhadap kemunculan bakery lokal di Bandung. Bukan hanya sebagai inspirasi rasa, tapi juga sebagai strategi branding, identitas kuliner, dan koneksi emosional dengan konsumen.
Selain Roti Segar by BonBake, juga ada Lot.Butter —jenama asal Bandung yang kini berekspansi ke Jakarta, yang menggabungkan roti klasik dengan sentuhan Jepang dan Korea. Meski mengusung konsep fusi, bakery lokal ini tetap mempertahankan elemen nostalgia seperti roti bloeder dan roti susu.***