- Home
- Nusarasa
Cengkih dalam Masakan Nusantara: Tradisi yang Tak Lekang
Keberadaan cengkih menentukan apakah rasa dalam hidangan bisa menjadi datar atau memiliki karakter yang khas.
-800.jpg)
SOEAT - Tak banyak yang menyadari bahwa di balik semangkuk rendang atau secangkir wedang uwuh, ada satu rempah yang bekerja diam-diam: cengkih. Kehadirannya tak begitu mencolok seperti cabai dalam masakan pedas, atau kunyit dalam sajian berwarna kuning. Akan tetapi, keberadaan cengkih menentukan apakah rasa dalam hidangan bisa menjadi datar atau memiliki karakter yang khas.
Rasa yang dihadirkan cengkih begitu berlapis. Ia hangat dan tajam di awal -mirip kayu manis tapi lebih intens dan pedas, kemudian setelah manis samarnya mereda, ia melahirkan rasa pedas yang tidak menyengat.
Di tangan yang tepat, cengkih sering berperan sebagai pengikat rasa dalam masakan. Ia menyatukan rempah lain seperti pala, kayu manis, dan kapulaga, menciptakan harmoni yang dalam dan berkarakter. Akan tetapi jika penggunaannya terlalu banyak, maka ia akan menghadirkan rasa pahit di ujung lidah.
Bagaimana sebenarnya kiprah cengkih di masa lalu dan sekarang, mulai dari dapur tradisional hingga dampak keberadaannya terhadap kesehatan?
Jejak Kolonialisme, dan Perang Cengkih sebagai Alat Kekuasaan
Cengkih, atau Syzygium aromaticum, berasal dari Kepulauan Maluku —wilayah yang dijuluki Spice Islands karena kekayaan rempahnya. Sejak abad ke-15, cengkih menjadi komoditas yang sangat berharga di pasar internasional. Harganya setara emas, dan aromanya dianggap mampu mengawetkan daging serta menyembuhkan penyakit.
Sebelum bangsa Eropa datang, jaringan perdagangan rempah Nusantara sudah mapan. Pedagang Arab, India, Tiongkok, dan Melayu telah membawa cengkih ke berbagai penjuru Asia dan Timur Tengah. Namun, kedatangan Portugis pada awal abad ke-16 menandai babak baru: perebutan kendali atas rempah.
Belanda, melalui kongsi dagangnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), berhasil merebut hegemoni perdagangan cengkih dari Portugis dan Spanyol. Mereka menerapkan sistem monopoli ketat di Maluku, terutama di Kepulauan Lease (Nusalaut, Saparua, Haruku).
Monopoli ini bukan sekadar pengaturan dagang. VOC memaksa petani hanya menjual cengkih kepada mereka, menetapkan harga rendah, dan menghancurkan pohon-pohon cengkih liar agar produksi tetap terkendali. Kebijakan ini dikenal sebagai “extirpatie” —penghancuran sistematis demi menjaga harga dan kekuasaan.
Penindasan ini memicu berbagai perlawanan lokal, termasuk pemberontakan besar seperti Perang Pattimura (1817) di Saparua. Cengkih, dalam konteks ini, bukan hanya rempah. Ia adalah pemantik konflik, simbol eksploitasi, dan alasan utama mengapa bangsa asing menjajah Nusantara selama lebih dari tiga abad.
Cengkih di Dapur Tradisional: Rasa yang Dalam dan Berlapis
Dalam kuliner Indonesia, cengkih hadir sebagai bagian dari bumbu halus atau rempah utuh yang dimasukkan ke dalam masakan berkuah dan berbumbu pekat. Ia memberi kedalaman rasa yang khas: hangat, manis-pedas, dan sedikit pahit.
Beberapa contoh masakan Nusantara yang menggunakan cengkih adalah rendang Minang. Cengkih memperkaya rasa daging yang dimasak lama bersama santan dan bumbu.
Pada semur Betawi, cengkih memberi sentuhan hangat dalam kuah kecap yang manis dan gurih. Sedangkan pada soto Banjar versi tradisional, cengkih memperkuat aroma kaldu ayam yang ringan tapi berkarakter. Untuk minuman herbal khas Yogyakarta wedang Uwuh, cengkih digabungkan dengan kayu secang, jahe, dan gula batu.
Cengkih dan Manfaatnya Terhadap Kesehatan
Penelitian farmakologi menunjukkan bahwa cengkih mengandung senyawa aktif utama bernama eugenol. Senyawa ini memiliki berbagai manfaat kesehatan, antara lain sebagai antibakteri dan antijamur.
Studi oleh Pradana et al. (2023) menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari bunga dan daun cengkih memiliki daya hambat terhadap Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Candida albicans. Konsentrasi 12,5% dari bunga cengkih menunjukkan zona hambat hingga 20 mm terhadap jamur.
Cengkih juga menjadi salah satu bahan yang bisa menghambat pertumbuhan sel kanker dan inflamasi. Penelitian oleh Tulungen (2019) mengungkapkan bahwa eugenol memiliki aktivitas antiproliferatif dan antimetastatik terhadap sel kanker, serta efek hepatoprotektif dan antiinflamasi yang signifikan.
Eugenol juga berfungsi sebagai antioksidan kuat yang dapat memperlambat proses oksidasi dan melindungi sel dari kerusakan. Dalam penggunaan kuliner dan kesehatan, cengkih juga digunakan sebagai penyedap rasa sekaligus bahan pengawet alami dalam makanan, serta memiliki potensi sebagai obat tradisional dan modern.
Resep Warisan: Semur Cengkih ala Betawi
Untuk merasakan kehangatan cengkih secara langsung, berikut resep semur khas Betawi yang bisa dicoba di rumah:
Bahan:
500 gram daging sapi, potong kotak
5 siung bawang putih
7 siung bawang merah
2 butir kemiri
1 sdt merica
3 butir cengkih
1 batang kayu manis
2 sdm kecap manis
Garam dan gula secukupnya
Air secukupnya
Cara membuat:
Haluskan bawang putih, bawang merah, kemiri, dan merica.
Tumis bumbu halus hingga harum, masukkan cengkih dan kayu manis.
Tambahkan daging, aduk hingga berubah warna.
Tuang air dan kecap manis, masak dengan api kecil hingga daging empuk dan kuah mengental.
Koreksi rasa, sajikan hangat dengan nasi putih dan acar.***