1. Home
  2. Kulineran

Rahang Tuna, dari Indonesia Timur ke Panggung Kuliner Viral

Rahang tuna, bagian kepala ikan yang dulunya dianggap sisa, kini menjelma menjadi bintang di meja makan.

Ikan
Ikan suwir asap. (Soeat/Nday)

SOEAT - Tren kuliner olahan rahang tuna agaknya terus bersinar di kalangan masyarakat, setelah viral dua atau tiga tahun terakhir. Hal itu setidaknya terlihat dalam helaran Keuken SundayFunday yang berlangsung di POSCO Kantor Pos Besar, Jl. Asia Afrika, Kota Bandung, 2-3 Agustus 2025.

Dalam festival kuliner tahunan yang kerap dianggap sebagai miniatur tren kuliner di Bandung ini, kehadiran rahang tuna menjadi daya tarik tersendiri. Itu terbukti dari pengunjung yang terus memadati dua booth yang menjagokan rahang tuna. Salah satunya adalah Ramu Saji, yang kini membuka cabangnya di Jl. L. L. R. E. Martadinata, Kota Bandung.

Rahang tuna
Suasana booth Ramu Saji di Festival Keuken, 2-3 Agustus di Posco, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. (Soeat/Nday)

Rahang tuna, bagian kepala ikan yang dulunya dianggap sisa, kini menjelma menjadi bintang di meja makan. Teksturnya yang padat, juicy, dan kaya lemak alami membuatnya digemari oleh pencinta seafood.

Di Indonesia Timur —khususnya Manado, Maluku, dan NTT, rahang tuna sudah lama menjadi sajian khas. Bagian ikan ini biasanya dibakar dan disajikan dengan sambal rica atau dabu-dabu. Kini, tren ini merambah ke kota-kota besar, termasuk Bandung, yang dikenal sebagai laboratorium rasa dan gaya hidup kuliner urban.

Pemilik Ramu Saji, Chandra Ramanadi, mengatakan bahwa tren rahang tuna tak juga meredup. Itu salah satu sebab, ia memutuskan untuk membuka restoran baru Ramu Saji di Bandung, yang salah satunya menjagokan menu rahang tuna.

"Semakin banyak yang tahu mengenai kelezatan rahang tuna, meski masih banyak juga yang belum tahu. Tapi antusiasmenya (terhadap rahang tuna) masih sangat tinggi," kata Chandra, ketika ditemui di sela-sela helaran Festival Keuken.

Daging rahang tuna memiliki tekstur daging yang lembut, kaya akan lemak alami, dan rasa yang gurih, sehingga sering diolah menjadi berbagai hidangan lezat, seperti ikan bakar atau tuna panggang. Selain rasa yang enak, rahang tuna juga mengandung nutrisi penting seperti asam lemak omega-3, protein, dan vitamin.

Dari Timur ke Barat: Evolusi Rahang Tuna

Pengasapan
Pengasapan ikan adalah proses pengawetan ikan dengan cara merendam ikan dalam asap dari pembakaran kayu. Proses ini tidak hanya mengawetkan ikan, tetapi juga memberikan cita rasa dan aroma khas yang unik. (Soeat/Nday)

Tren kuliner rahang tuna mulai mencuat sekitar pertengahan 2010-an, terutama di Manado, Sulawesi Utara. Di Manado, rahang tuna dibakar langsung di atas bara, lalu disiram sambal dabu-dabu segar berbasis tomat, cabai, dan jeruk nipis. Rasanya pedas, asam, dan smoky.

Awalnya, bagian rahang ikan tuna dianggap sebagai limbah atau sisa yang tidak layak ekspor dan sering dibuang oleh pabrik pengolahan ikan. Namun, seiring meningkatnya minat terhadap kuliner lokal dan eksplorasi bagian-bagian “non-prime” dari ikan, rahang tuna mulai diangkat sebagai menu khas yang menggoda selera.

Sekitar 2017, rahang tuna mulai disebut sebagai makanan fenomenal di Manado, diburu oleh wisatawan dan pencinta kuliner. Restoran-restoran lokal seperti Tuna House di Manado menjadikan rahang tuna sebagai menu andalan, disajikan dengan teknik bakar menggunakan sabut kelapa dan sambal khas seperti dabu-dabu.

Sambal
Sambal dabu dabu. (Soeat/Nday)

Dari sana, tren ini merambat ke kota-kota lain seperti Jakarta, Surabaya, dan tentu saja Bandung, yang dikenal sebagai kota eksperimental dalam dunia kuliner. Di Bandung, rahang tuna mulai populer sekitar 2021–2022, berkat restoran yang mengangkat tema “kuliner lintas daerah” dan media sosial yang memperkuat daya tarik visualnya.

Jadi, meskipun rahang tuna sudah lama dikenal di daerah asalnya, transformasinya menjadi tren nasional baru terjadi dalam 7–8 tahun terakhir. Kini, rahang tuna menjadi simbol kuliner yang menggabungkan kelezatan, budaya, dan keberlanjutan.

Rahang Tuna Naik Kelas

Ikan
Rahang tuna asap yang dipanggang. (Soeat/Nday)

Tren rahang tuna dalam khazanah kuliner tanah air bukan sekadar soal rasa, tapi juga soal identitas. Ia menjembatani Timur dan Barat, tradisi dan modernitas, lokal dan global. Di tangan para pelaku kuliner Bandung yang kreatif, rahang tuna bukan lagi potongan sisa, melainkan potongan cerita.

Bandung, dengan semangat eksplorasi kulinernya, "menyambut" rahang tuna dengan tangan terbuka. Beberapa restoran bahkan menjadikannya signature dish. Se’i Sapi Lamalera yang berlomasi di Jl. Emong dan Jl. Bagusrangin, misalnya, memiliki menu Rahang Tuna Bumbu Tuturuga, yang merupakan perpaduan rempah khas Manado seperti kemangi, daun jeruk, dan santan.

Menu tersebut disajikan dalam porsi individual maupun keluarga (125g–1kg). Harganya berkisar antara Rp35.000 hingga Rp250.000.

Ada pula Rahang Tuna Manado 37, di Jl. Menado No. 37, Kota Bandung. Restoran ini menyajikan rahang tuna bersama tiga varian sambal, yakni dabu-dabu, rica-rica, dan matah.

Dagingnya empuk, smoky, dan juicy. Sambalnya melimpah, sehingga menjadi highlight tersendiri. Kehadiran Rahang Tuna Manado 37, juga seringkali menjadi incaran oleh para pengunjung festival kuliner. Aromanya yang begitu menggugah selera, mengundang pengunjung untuk datang dan mencicipi.

Mengapa Tren Rahang Tuna Terus Bersinar?

Rahang Tuna
Salah satu menu Ramu Saji yang disajikan di Festival Keuken, 2-3 Agustus di Posco, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. (Soeat/Nday)

Salah satu alasan yang tak bisa ditepikan, yakni cita rasanya yang unik. Rahang tuna menawarkan sensasi makan yang berbeda: menggali daging di sela tulang, menikmati lemak alami, dan aroma bakaran.

Banyak restoran yang juga mengemas rahang tuna sebagai bagian dari eksplorasi kuliner Nusantara, bukan sekadar menu. Bentuknya yang besar dan penyajian yang dramatis, juga membuat rahang tuna cocok untuk konten media sosial.

Meski tampil mewah, rahang tuna tetap ramah di kantong. Masyarakat bisa menyantapnya mulai dari Rp25.000 hingga Rp100.000-an.***