- Home
- Kulineran
Sejarah dan Makna di Balik Nasi Uduk, Hidangan Khas Betawi
Dalam setiap suapan, kita tidak hanya menikmati kelezatan, tapi juga menyerap nilai-nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan kekayaan budaya Betawi.

SOEAT - Di antara deru kendaraan dan langkah kaki yang tergesa, ada aroma yang menyelinap dari warung-warung pinggir jalan di Jakarta. Wangi santan, daun pandan, dan bawang goreng yang baru ditiriskan, menelisik hidung dan membuat perut semakin terasa lapar.
Di atas meja sederhana, sepiring nasi uduk tersaji: nasi putih yang gurih, ayam goreng berbumbu, tempe orek manis, telur balado, dan sambal kacang yang menggoda. Tapi di balik kelezatan itu, tersimpan kisah panjang tentang identitas, sejarah, dan semangat hidup masyarakat Betawi.
Nasi uduk bukan sekadar menu sarapan. Nasi uduk juga "berkisah" tentang simbol dari keberagaman budaya, warisan kuliner yang lahir dari percampuran pengaruh Melayu, Tionghoa, hingga Arab. Nasi uduk hari ini hadir dalam syukuran, pernikahan, hingga sarapan kaki lima.
Asal-Usul: Dari “Uduk” ke Tradisi
Secara etimologis, kata uduk berasal dari bahasa Betawi yang berarti “campur” atau “aduk”. Ini mengacu pada cara memasak nasi dengan santan dan rempah-rempah seperti daun salam, serai, dan daun pandan.
Proses ini menghasilkan nasi yang gurih, harum, dan lembut, berbeda dari nasi putih biasa. Seperti dilansir Kompas, nasi uduk diyakini berasal dari pengaruh masakan Melayu yang masuk ke Batavia melalui jalur perdagangan pada abad ke-14.
Orang-orang Melayu yang menetap di pesisir Jawa membawa tradisi memasak nasi dengan santan, yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat Betawi dengan sentuhan lokal. Seiring waktu, nasi uduk menjadi bagian dari identitas kuliner Jakarta.
Dari Kebon Kacang ke Seluruh Nusantara
Nasi uduk pertama kali dijual secara luas di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Hingga kini, banyak penjual nasi uduk yang mencantumkan embel-embel “Kebon Kacang” sebagai penanda keaslian dan daya tarik.
Ciri khasnya? Nasi dibungkus daun pisang berbentuk kerucut, disajikan dengan taburan bawang goreng melimpah dan sambal kacang yang kental. Popularitas nasi uduk pun menyebar ke berbagai daerah.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, kita mengenal nasi liwet yang serupa namun berbeda dalam pelengkap dan rasa. Di luar Jakarta, nasi uduk tetap mempertahankan identitasnya sebagai makanan rakyat yang merakyat.
Makna Budaya: Simbol Kebersamaan dan Doa
Dalam budaya Betawi, makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga sarana komunikasi sosial. Nasi uduk sering disajikan dalam acara adat seperti syukuran, khitanan, atau pernikahan. Hidangan ini melambangkan rasa syukur, harapan akan keberkahan, dan semangat kebersamaan.
Menurut Seleranusantara.id, nasi uduk mencerminkan filosofi hidup masyarakat Betawi yang terbuka terhadap percampuran budaya. Ia adalah hasil dari akulturasi yang harmonis antara Melayu, Tionghoa, dan Arab, yang tercermin dalam ragam lauk dan cara penyajiannya.
Bahan utama yang digunakan dalam membuat nasi uduk adalah beras putih, santan kelapa, daun pandan, daun salam, serai, dan garam.
Sebagai pelengkap, ada ayam goreng berbumbu, tempe orek manis, telur balado, sambal kacang kemiri, emping melinjo atau kerupuk, serta mentimun iris dan bawang goreng.
Perpaduan rasa gurih, pedas, manis, dan segar menciptakan harmoni yang khas. Setiap elemen punya peran.
Nasi sebagai dasar, lauk sebagai penguat rasa, sambal sebagai kejutan, dan emping sebagai penyeimbang tekstur.***