1. Home
  2. Kulineran

Ketan Hitam dalam Sejarah Kuliner Nusantara: Dari Majapahit ke Meja Modern

Dari dapur kerajaan Majapahit hingga kreasi kuliner modern, ketan hitam tetap menjadi ikon rasa dan makna dalam kuliner Nusantara.

Ketan hitam
Peuyeum ketan hitam. (Wikimedia Commons/Hayati Mayang Arum)

SOEAT - Di balik warna gelapnya yang pekat, ketan hitam menyimpan kisah panjang tentang budaya, kebersamaan, dan transformasi rasa. Selain menjadi bahan makanan, ketan hitam juga menjadi saksi bisu perjalanan kuliner Nusantara dari masa kerajaan hingga era modern.

Dalam setiap butirnya, terkandung filosofi yang dalam. Lengketnya ketan adalah harapan agar manusia tetap erat dalam hubungan, dalam keluarga, dalam komunitas.

Dulu di istana Kerajaan Majapahit, para bangsawan menyantap bubur ketan hitam hangat yang disiram santan kental, ditemani alunan gamelan dan aroma rempah yang memenuhi udara. Kini, sajian yang sama bisa kita temui di warung pinggir jalan, di restoran modern, bahkan dalam bentuk es krim dan cake.

Zaman Majapahit: Ketan Hitam sebagai Simbol Kemewahan dan Kebersamaan

Sejarah mencatat bahwa ketan hitam telah dikenal sejak abad ke-14, tepatnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, beras ketan hitam dianggap sebagai bahan pangan yang “elite” —lebih mahal dan lebih sulit dibudidayakan dibandingkan beras putih biasa.

Masa panennya panjang, perawatannya rumit, dan hasilnya tidak sebanyak padi biasa. Tak heran jika hanya kalangan bangsawan yang bisa menikmatinya.

Chef Ucu Sawitri dalam wawancara dengan Kompas mengatakan, ketan hitam bukan hanya makanan, tapi juga bagian dari ritual dan simbol harapan. Dalam acara pernikahan, misalnya, bubur ketan hitam disajikan sebagai lambang perekat cinta.

Sifatnya yang lengket dianggap sebagai doa agar pasangan tetap bersatu dan langgeng. Filosofi ini masih hidup hingga kini, terutama di Jawa dan Bali.

Evolusi Rasa: Dari Bubur Tradisional ke Kreasi Kontemporer

Ketan hitam
Bolu ketan hitam keju dengan isian keju lumer menjadi viral di media sosial, menyatukan nostalgia dan inovasi dalam satu gigitan. (Instagram/Hidayatchefkoko)

Sajian paling klasik dari ketan hitam adalah bubur ketan hitam, atau dikenal juga sebagai bubur injit di Bali dan Nusa Tenggara. Hidangan ini dibuat dengan merebus ketan hitam bersama gula merah dan daun pandan, lalu disiram santan kental yang gurih.

Rasanya manis, lembut, dan menghangatkan. Bubur ketan hitam cocok disantap saat pagi atau sore hari.

Namun, seiring waktu, ketan hitam tak lagi terbatas pada bubur. Ia telah menjelma menjadi bahan utama panganan lain, seperti cake dan brownies ketan hitam dengan tekstur moist dan rasa earthy yang khas, hingga smoothies dan granola bar yang menjadi alternatif sehat dan kaya serat.

Ketan hitam juga bisa diproses menjadi es krim, yang memadukan rasa tradisional dengan teknik modern. Pun dengan tape ketan hitam, yang difermentasi dan digunakan dalam minuman atau jajanan pasar.

Transformasi ini menunjukkan bahwa ketan hitam mampu beradaptasi dengan selera zaman, tanpa kehilangan akar budayanya.

Kandungan Gizi: Superfood Lokal yang Kaya Manfaat

Di balik warnanya yang gelap, ketan hitam menyimpan kandungan antosianin tinggi. Ini merupakan senyawa antioksidan yang juga ditemukan dalam buah beri dan anggur hitam.

Antosianin berperan antara lain dalam menangkal radikal bebas, menjaga kesehatan jantung, memperlambat penuaan, dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Selain itu, ketan hitam juga mengandung serat tinggi yang membantu pencernaan dan menjaga rasa kenyang, zat besi yang mencegah anemia, hingga protein dan fosfor yang mendukung metabolisme dan kekuatan tulang. Tak heran jika ketan hitam kini disebut sebagai superfood lokal yang tak kalah dengan quinoa atau chia seed.

Filosofi dan Budaya: Makanan yang Merekatkan Makna

Ketan hitam
Ketan hitam. (Pexels/Cats Coming)

Dalam tradisi Jawa dan Bali, ketan hitam bukan hanya makanan, tapi juga simbol spiritual dan sosial. Ia hadir dalam berbagai ritual.

Misalnya, dalam selamatan dan syukuran, sebagai bentuk doa dan rasa syukur. Ketan hitam juga seringkali hadir dalam upacara pernikahan sebagai lambang cinta yang lengket dan tak terpisahkan, serta perayaan panen dan adat sebagai penghormatan terhadap alam dan leluhur.

Ketan hitam juga sering digunakan dalam upacara keagamaan, seperti Nyepi di Bali atau tradisi Maulid di Jawa. Ini menunjukkan peran pentingnya dalam kehidupan spiritual masyarakat.***