1. Home
  2. Kulineran

Sejarah Cakue: Jejak Kuliner China di Meja Makan Nusantara

Cakue bukan sekadar gorengan biasa. Ia adalah jejak sejarah, simbol perlawanan, dan bukti bagaimana kuliner bisa menjadi medium ekspresi sosial.

Cakue
Ilustrasi cakue yang dijual di kuliner pasar malam. (Wikimedia Commons/Shumsie Howards)

SOEAT - Di balik renyahnya cakue yang sering kita nikmati sebagai pelengkap bubur ayam atau teman minum kopi pagi, tersembunyi kisah kelam yang sarat makna. Cakue bukan sekadar gorengan panjang berwarna keemasan, ia adalah simbol perlawanan rakyat Tiongkok terhadap penguasa zalim.

Dalam dialek Hokkian, cakue disebut cahkwe, yang berarti “hantu yang digoreng” (you zha gui dalam Mandarin). Julukan ini bukan tanpa alasan.

Cakue lahir dari kemarahan rakyat terhadap Perdana Menteri Qin Hui yang dianggap telah menjebak dan menyebabkan kematian Jenderal Yue Fei, sosok patriot yang dicintai rakyat pada masa Dinasti Song. Dua batang adonan yang digoreng bersamaan melambangkan Qin Hui dan istrinya, sebagai bentuk sindiran dan penghinaan.

Dari jalanan Lin’an, cakue menyebar ke berbagai penjuru Asia, termasuk Indonesia, dan bertransformasi menjadi camilan yang tak lekang oleh waktu.

Dimulai dari Lin’an, ibu kota Dinasti Song Selatan, lalu menyebar ke berbagai wilayah Tiongkok dan Asia Tenggara melalui jalur perdagangan dan migrasi.

Cakue Menyebar ke Nusantara

Youtiao
Cakwe dan youtiao pada dasarnya adalah makanan yang sama, yaitu sejenis gorengan panjang dari adonan tepung terigu. Perbedaan utama terletak pada penyebutan dan beberapa variasi penyajian di berbagai daerah. (Wikimedia Commons/Brian Jeffery Beggerly)

Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa cakue diperkenalkan di Indonesia oleh pedagang Tionghoa pada awal 1900-an. Di Indonesia, cakue tidak hanya disajikan polos.

Ada versi isi udang, ayam cincang, bahkan cakue manis dengan taburan gula. Kreativitas lokal menjadikan cakue sebagai camilan yang fleksibel dan digemari lintas generasi.

Di Surakarta, cakue disajikan dengan susu kedelai. Di Jawa Barat, cakue disantap dengan sambal kacang cair atau kuah cuka. Di Pontianak dan Ketapang, cakue manis disajikan dengan rebusan kacang hijau dan gula kental.

Variasi Cakue di Asia

Cakue
Mini youtiao. (Wikimedia Commons/Wagaung)

Di Tiongkok, cakue disebut sebagai Youtiao. Panganan ini disantap dengan bubur panas atau susu kedelai. Ada pula versi yang dibalut ketan dan wijen.

Sedangkan di Indonesia, cakue disajikan dengan sambal kacang, kuah cuka. Isiannya polos, atau ada juga yang diberi isian udang atau daging.

Ilustrasi cakue yang dijual di kuliner pasar malam. (Wikimedia Commons/Shumsie Howards)

Cakue di Thailand disebut sebagai Pa Thong Ko. Ukurannya kecil, disajikan dengan saus pandan atau susu kental manis.

Sementara di Malaysia dan Singapura, disebut Cakoi. Street food ini terbilang modern, dihiasi dengan topping keju, cokelat, matcha, bahkan saus tiram.

Di Myanmar, cakue dikenal sebagai Kya Kway. Ini merupakan teman makan bubur atau teh, dan hingga kini tetap mempertahankan gaya klasik.

Nama cakue di Vietnam disebut sebagai Quay, yang merupakan pelengkap pho. Cara memakannya yakni dicelupkan ke kuah panas untuk tekstur renyah.

Makna Budaya dan Evolusi Modern

Cakue
Cakue. (Pixabay/坡村的人)

Cakue dikenal sebagai simbol perlawanan. Hal itu lantaran cakue lahir dari kemarahan rakyat terhadap penguasa yang tidak adil.

Cakue juga dikenal sebagai kuliner yang adaptif. Cakue mudah beradaptasi dengan cita rasa lokal dan menjadi bagian dari tradisi kuliner di berbagai negara.

Perjalanan panjang cakue juga menahbiskan bahwa cakue menancapkan eksistensi di era modern. Cakue tetap digemari dan bahkan diolah dengan inovasi baru seperti cakue isi, cakue manis, dan cakue frozen.***