- Home
- Kulineran
Martabak Mini Pengkolan BPI: Sederhana, Tipis, Nagih!
Ketipisannya melampaui martabak (berukuran besar) yang tipis kering alias martabak tipker.
-800.jpg)
SOEAT - Umumnya, martabak mini adalah martabak biasa dalam versi bundar yang lebih kecil. Diameternya biasanya sekitar 7–10 cm.
Seperti martabak pada umumnya, martabak mini dibuat dari adonan tepung terigu yang difermentasi ringan, lalu dimasak di cetakan khusus hingga muncul tekstur bersarang yang khas. Setelah matang, bagian atasnya diberi berbagai topping manis seperti meses, keju, kacang, susu kental manis, atau bahkan Oreo dan matcha.
Tapi, apa yang membuat Martabak Mini Pengkolan BPI di Jl. Patuha berbeda dan diburu orang?
Jawabannya, karena martabak mini di tempat ini punya tekstur yang sangat tipis, mulai dari luar hingga dalam. Bahkan, ketipisannya melampaui martabak (berukuran besar) yang tipis kering alias martabak tipker.
Dengan demikian, martabak mini ini begitu ringan. Baik ringan secara harafiah, maupun ringan di lidah. Kurang kenyang? Tinggal santap dalam jumlah yang lebih banyak! Sampai-sampai, konsumen tak sadar, berapa banyak martabak mini yang sudah disantap, saking nagihnya.
"Rata-rata kalau anak-anak sekolah membeli 3 atau 6 biji, harganya total lima atau sepuluh ribu. Tapi kalau pesanan yang lain, ada yang beli 10, atau bahkan 50 biji," ujar sang penjual, Iwan (43).
Jejak Martabak, dari Timur Tengah ke Nusantara
Berdasarkan sejumlah literasi, didapati bahwa martabak berasal dari makanan Arab bernama mutabbaq yang berarti “terlipat”. Hidangan ini populer di wilayah Hijaz (Arab Saudi), Yaman, India, dan Bangladesh sebelum menyebar ke Asia Tenggara.
Sekitar tahun 1930-an, seorang warga India bernama Abdullah bin Hasan Almalibary memperkenalkan martabak kepada masyarakat di Semarang. Ia bersahabat dengan Ahmad bin Kyai Abdul Karim dari Tegal, yang kemudian ikut menyebarkan resep ini ke Jawa Tengah.
Dari Jawa, "kiprah" martabak meluas ke seluruh Indonesia -hingga kini menjadi salah satu camilan yang banyak dicari ketika malam hari. Untuk menyesuaikan dengan selera orang Jawa, awalnya martabak dimodifikasi dengan isian sayuran, telur, dan daging cincang. Penyajiannya pun khas, dipotong kotak-kotak dan disajikan dengan acar timun serta cabai hijau.
Sedangkan martabak manis, awalnya dikenal sebagai Hok Lo Pan, kue khas komunitas Hakka dari Pulau Bangka. Nama ini berarti “kue hoki” atau “kue keberuntungan”.
Pada tahun 1950-an, Hioe Kui Sem, seorang perantau dari Jebus, Bangka, memperkenalkan Hok Lo Pan di pasar malam Cikapundung, Bandung. Karena lapaknya bersebelahan dengan penjual martabak telur, mereka sepakat menyebut versi manisnya sebagai “martabak manis” agar lebih mudah dipasarkan.
Di Bandung, martabak disebut sebagai terang bulan. Sedangkan di Jakarta dikenal sebagai martabak Bangka, dan di Semarang kadang disebut kue Bandung. Isian klasiknya berupa cokelat, keju, kacang, dan susu kental manis, tapi kini hadir dalam versi kekinian dengan topping matcha, red velvet, hingga boba.
Martabak Mini, Camilan Klasik dalam Genggaman
Sedangkan martabak mini, merupakan versi kecil dari martabak manis yang berukuran besar. Biasanya, teksturnya juga menyerupai martabak besar, dengan kulit luar yang cenderung garing di pinggir, namun bagian tengahnya lembut dan kenyal.
Aroma vanila dan mentega berpadu dengan topping yang meleleh, menciptakan sensasi manis yang memanjakan lidah. Versi modern martabak mini sering menambahkan rasa unik seperti red velvet, green tea, atau rainbow sprinkle.
Keunggulannya yakni ukuran yang praktis, sehingga cocok untuk satu kali gigit, dan ideal untuk acara kumpul atau jajanan anak sekolah. Kreativitasnya tak berbatas, bisa disesuaikan dengan selera, dari klasik hingga kekinian.
Harganya pun sangat terjangkau. Rata-rata, martabak mini dijual dengan harga Rp2.000–Rp5.000 per buah. Adonannya pun mudah dibuat di rumah dengan alat dapur sederhana, sehingga memudahkan penyebaran dan popularitasnya di kalangan masyarakat.***