1. Home
  2. Kulineran

Colenak vs Peuyeum Bakar: Perbedaan dan Keunikan Olahan Singkong Fermentasi

Sekilas mirip, tapi jika ditelusuri lebih dalam, keduanya menyimpan perbedaan yang mencerminkan cara masyarakat Sunda memaknai makanan.

Tape singkong.
Tape ketela, atau yang lebih umum disebut tape singkong, adalah makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari singkong yang difermentasi. (Wikimedia Commons/Rendy Roziki)

SOEAT - Dari satu bahan yang sama yakni peuyeum, lahir dua kudapan khas Sunda yang sering disangka kembar identik: colenak dan peuyeum bakar. Tapi, seperti saudara kandung yang tumbuh dengan karakter berbeda, keduanya punya cerita, rasa, dan filosofi yang tak bisa disamakan.

Di tanah Parahyangan, singkong bukan sekadar bahan pangan alternatif. Ia adalah simbol ketahanan, kreativitas, dan warisan budaya.

Lewat proses fermentasi, singkong menjelma menjadi peuyeum, produk yang bukan hanya lezat, tapi juga sarat makna. Dari peuyeum inilah lahir dua olahan yang kerap membuat orang bingung membedakannya: colenak dan peuyeum bakar. Sekilas mirip, tapi jika ditelusuri lebih dalam, keduanya menyimpan perbedaan yang mencerminkan cara masyarakat Sunda memaknai makanan.

Peuyeum: Akar dari Segalanya

Peuyeum adalah tape singkong khas Sunda yang difermentasi menggunakan ragi. Proses ini mengubah karbohidrat menjadi gula sederhana dan sedikit alkohol, menciptakan rasa manis alami dan aroma khas.

Dalam budaya Sunda, peuyeum bukan hanya camilan, tapi juga bagian dari tradisi. Ia dijual di pasar, dijajakan di pinggir jalan, bahkan dijadikan oleh-oleh khas Bandung.

Dikutip dari laman Indonesia Kaya, peneliti tradisi lisan Sunda Chye Retty Isnendes menyebutkan, peuyeum sudah dikenal sejak masa kolonial, bahkan mungkin lebih awal dari popularitas tapioka di era Bupati Martanagara. Dalam pupuh dan tembang rakyat, peuyeum sering disebut sebagai makanan rakyat yang menguatkan semangat perjuangan.

Peuyeum Bakar: Kesederhanaan yang Jujur

Peuyeum bakar adalah bentuk paling sederhana dari olahan peuyeum. Ia hanya dibakar di atas bara arang hingga permukaannya sedikit gosong dan karamelisasi gula alami muncul.

Tidak ada tambahan saus, tidak ada topping. Hanya peuyeum, api, dan aroma yang menggoda.

Kelezatan peuyeum bakar terletak pada kontras tekstur: bagian luar yang renyah dan bagian dalam yang lembut serta manis. Kudapan ini sering dijumpai di pasar tradisional atau dijajakan oleh pedagang kaki lima. Ia adalah bentuk penghormatan pada rasa asli peuyeum, tanpa modifikasi.

Colenak: Inovasi yang Menjadi Ikon

Colenak Murdi
Colenak Murdi, colenak legendaris di Bandung yang telah berdiri sejak 95 tahun lalu. (Soeat/Nday)

Colenak, singkatan dari “dicocol enak”, adalah peuyeum bakar yang disajikan dengan saus kinca, campuran gula merah, kelapa parut, dan santan yang dimasak hingga kental. Kudapan ini dipopulerkan oleh Aki Murdi pada tahun 1930 di Bandung. Dari gerobak sederhana di Jalan Ahmad Yani, ia memperkenalkan cara baru menikmati peuyeum yang kemudian menjadi ikon kuliner Sunda.

Colenak bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang inovasi. Ia menunjukkan bagaimana masyarakat Sunda mampu mengangkat makanan rakyat menjadi sajian yang elegan dan bernilai budaya tinggi.

Kini, colenak hadir dalam berbagai varian: durian, pandan, pisang tape, bahkan disajikan dengan topping es krim.

Fermentasi: Proses yang Mengubah Segalanya

Fermentasi bukan hanya teknik pengolahan, tapi juga proses transformasi. Dalam konteks peuyeum, fermentasi mengurangi kadar sianida alami pada singkong, meningkatkan kandungan probiotik, dan menciptakan rasa manis yang khas.

Proses ini juga memperpanjang masa simpan dan menjadikan peuyeum bahan dasar yang fleksibel untuk berbagai olahan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa colenak dan peuyeum bakar adalah dua ekspresi dari satu bahan yang sama.

Yang satu memilih jalan kesederhanaan, yang lain menempuh jalur inovasi. Tapi, keduanya lahir dari cinta terhadap peuyeum, terhadap tradisi, dan terhadap rasa.***