1. Home
  2. Kulineran

Mi Ayam Tradisional vs Mi Ayam Kekinian, Apa Bedanya?

Yang satu mengajak kita bernostalgia, yang lain mengajak kita bereksperimen.

Mi ayam
Mi ayam pangsit. (Wikimedia Commons/miss_yasmina)

SOEAT - Di Indonesia, mi ayam bukan sekadar makanan. Ia adalah bagian dari keseharian, pengisi perut sekaligus penghangat hati.

Dari gerobak dorong di pinggir jalan hingga restoran berkonsep industrial yang penuh lampu neon dan musik lo-fi, mi ayam hadir dalam berbagai rupa. Tapi seiring waktu, satu pertanyaan mulai muncul di benak para penikmatnya: apa bedanya mi ayam tradisional dengan mi ayam kekinian?

Pertanyaan ini bukan hanya soal rasa, tapi juga soal bagaimana kita memaknai makanan. Mi ayam tradisional adalah tentang warisan, tentang resep yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Sementara mi ayam kekinian adalah tentang inovasi, tentang bagaimana generasi muda mengolah tradisi menjadi sesuatu yang baru, segar, dan relevan. Mari kita telusuri lebih dalam perbedaan keduanya, dari tampilan, rasa, hingga filosofi yang menyertainya.

Tampilan: Sederhana vs Spektakuler

Mi ayam
Mi ayam jamur. (Wikimedia Commons/Midori)

Mi ayam tradisional tampil apa adanya. Mi kuning tipis, potongan ayam kecap, sawi rebus, dan kuah bening yang hangat.

Tak ada garnish berlebihan, tak ada warna mencolok. Justru di situlah letak pesonanya. Sederhana, jujur, dan mengundang nostalgia.

Sebaliknya, mi ayam kekinian tampil seperti selebritas kuliner. Mi-nya bisa berwarna hijau dari bayam, merah dari bit, atau hitam dari charcoal.

Topping-nya beragam: telur onsen, keju mozzarella leleh, siomay, bakso, bahkan sambal matah. Semua disusun rapi, siap difoto sebelum disantap. Estetika menjadi bagian dari pengalaman makan.

Rasa: Nostalgia vs Eksperimen

Mi ayam tradisional mengandalkan rasa gurih manis dari ayam kecap dan kaldu ayam yang ringan. Bumbunya sederhana tapi kaya, sering kali dimasak dengan sabar dan cinta. Rasanya membawa kita kembali ke masa kecil yang hangat, familiar, dan menenangkan.

Mi ayam kekinian lebih berani bereksperimen. Ada yang menambahkan saus keju, rendang, bahkan topping seafood.

Rasanya bisa mengejutkan, menyenangkan, atau kadang membingungkan. Tapi justru di situlah daya tariknya. Selalu ada hal baru untuk dicoba, dan selalu ada cerita baru untuk dibagikan.

Penyajian: Gerobak vs Kafe

Mi ayam
Mi ayam Mas Yanto di Jln. Kemuning, Kota Bandung. (Soeat/Nday)

Mi ayam tradisional identik dengan gerobak dorong, warung tenda, atau kedai sederhana. Suasananya akrab, hangat, dan penuh interaksi.

Kita bisa ngobrol dengan penjual sambil menunggu pesanan, atau duduk di bangku plastik sambil menyeruput kuah hangat.

Mi ayam kekinian biasanya disajikan di kafe atau restoran dengan konsep modern. Interiornya estetik, musiknya kekinian, dan menunya ditulis dengan font minimalis. Cocok untuk nongkrong, kerja sambil ngopi, atau sekadar update story.

Harga: Ramah Kantong vs Premium Experience

Mi ayam tradisional terkenal dengan harganya yang bersahabat. Dengan Rp10.000–Rp15.000, kita sudah bisa kenyang dan puas.

Sementara mi ayam kekinian bisa dibanderol mulai dari Rp25.000 hingga Rp50.000, tergantung topping dan tempatnya. Tapi tentu saja, kita juga membayar untuk suasana dan pengalaman.

Filosofi: Warisan vs Inovasi

Mi ayam tradisional adalah warisan budaya. Ia membawa cerita tentang keluarga, kampung halaman, dan resep yang tak berubah sejak dulu.

Mi ayam kekinian adalah simbol inovasi. Tentang bagaimana generasi muda mengolah tradisi menjadi sesuatu yang baru, segar, dan relevan.***