- Home
- Kulineran
Cronut Asli New York vs Versi Lokal, Mana yang Lebih Cocok dengan Lidah Indonesia?
Cronut adalah bukti bahwa kuliner bisa melintasi budaya dan benua, lalu bertransformasi sesuai selera lokal.

SOEAT - Di New York, cronut adalah simbol inovasi pastry modern. Di Indonesia, ia menjelma jadi camilan adaptif yang menyatu dengan budaya rasa. Tapi di antara keduanya, mana yang paling memikat lidah?
Ketika Dominique Ansel memperkenalkan cronut di jantung SoHo, New York, pada Mei 2013, dunia kuliner seolah terhenyak. Bayangkan: croissant yang berlapis-lapis, digoreng seperti donat, diisi krim lembut, dan ditutup dengan glaze manis yang menggoda.
Hasilnya? Antrean mengular sejak dini hari, pembeli yang rela menunggu berjam-jam, dan bahkan pasar gelap yang menjual cronut dengan harga fantastis. Tapi seperti banyak tren kuliner global lainnya, cronut pun menyeberangi samudra dan mendarat di Indonesia, dengan adaptasi yang tak kalah menarik.
Di sinilah cerita menjadi lebih kompleks dan menarik. Bagaimana cronut versi lokal berkembang, dan apakah ia mampu menyaingi keaslian versi New York?
Cronut Asli New York: Presisi, Eksklusivitas, dan Filosofi Rasa
Cronut orisinal adalah karya seni kuliner yang lahir dari ketekunan dan eksperimen. Dominique Ansel menghabiskan dua bulan untuk menyempurnakan resepnya.
Ia tidak sekadar menggabungkan dua teknik, tapi menciptakan sesuatu yang benar-benar baru. Adonan croissant yang dilaminasi selama tiga hari, digoreng dengan suhu presisi, diisi krim yang berganti setiap bulan, dan disajikan dalam jumlah terbatas.
Ciri khas cronut asli antara lain lapisan luarnya sangat renyah, bagian dalam lembut dan berongga seperti croissant. Rasanya seimbang, tidak terlalu manis, dengan isian krim yang kompleks dan glaze yang elegan.
Ketika diluncurkan, cronut disajikan satu rasa per bulan, diproduksi terbatas, dan dijual eksklusif di Dominique Ansel Bakery.
Versi Lokal: Adaptasi Rasa, Kreativitas, dan Kearifan Pasar
Ketika cronut masuk ke Indonesia, ia tidak datang sebagai bintang yang tak tersentuh. Ia bertransformasi.
Bakery ternama seperti Cake Shop di Mandarin Oriental Jakarta, The Deli Four Seasons, dan Union menghadirkan versi mereka sendiri, dengan nama seperti “Kronut” atau “Flaky Donut”.
Tapi yang menarik bukan hanya namanya, melainkan bagaimana rasa dan tampilannya disesuaikan dengan selera lokal. Keunggulan versi lokal antara lain rasanya yang lebih familiar.
Banyak bakery menambahkan sentuhan lokal seperti krim vla, cokelat, keju, bahkan rasa mangga atau pandan.
Teksturnya juga yang lebih ringan atau moist. Beberapa versi memang tidak seekstrim renyahnya cronut asli, tapi justru lebih disukai karena tidak terlalu berminyak atau keras.
Pilihannya pun lebih banyak. Cronut lokal tidak terbatas pada satu rasa, sehingga konsumen bisa memilih sesuai selera.
Selain itu, harganya lebih terjangkau. Cocok untuk pasar yang lebih luas dan konsumsi harian.
Contohnya, Flaky Donut dari Union dikenal dengan teksturnya yang sangat renyah dan aroma mentega yang kuat, meski tampilannya tidak selalu konsisten. Sementara Kronut dari The Deli menawarkan varian rasa seperti pistachio dan strawberry, dengan isian custard yang melimpah.
Lidah Indonesia: Antara Eksplorasi dan Kenyamanan
Lidah Indonesia dikenal menyukai rasa yang kuat, tekstur yang kaya, dan aroma yang menggoda. Dalam konteks ini, cronut versi lokal punya keunggulan karena lebih fleksibel dalam menyesuaikan rasa.
Misalnya, penggunaan krim vla yang lebih manis, topping cokelat yang melimpah, atau bahkan sentuhan rasa lokal seperti kopi, durian, atau teh hijau. Sementara cronut asli New York menawarkan pengalaman pastry yang lebih “fine dining”, versi lokal terasa lebih inklusif dan membumi.
Namun, bukan berarti cronut asli tidak cocok. Bagi pecinta pastry otentik dan teknik tinggi, cronut New York tetap menjadi benchmark.
Tapi untuk konsumsi harian, oleh-oleh, atau sekadar teman ngopi sore, versi lokal jelas lebih praktis dan memuaskan.***