1. Home
  2. Kulineran

Kenapa Disebut Nasi Uduk? Asal Usul Nama dan Filosofinya

Nama nasi uduk bukan sekadar label kuliner. Ia menyimpan jejak sejarah, akulturasi budaya, bahkan filosofi hidup masyarakat Betawi dan Jawa.

Nasi uduk
Nasi uduk betawi. (Wikimedia Commons/Gunawan Kartapranata)

SOEAT - Kita seringkali mendengar nama nasi uduk, sebagai salah satu hidangan menggugah selera yang mewarnai pagi hari. Menu sarapan (terkadang sebagai makan malam) ini begitu disukai, karena rasanya yang gurih dan fleksibel disantap bersama berbagai lauk pauk.

Di warung kaki lima atau meja makan banyak keluarga, sepiring nasi uduk tersaji lengkap dengan ayam goreng, tempe orek, telur balado, dan sambal kacang yang menggoda. Tapi pernahkah terbersit pertanyaan, kenapa namanya “nasi uduk”? Apa makna di balik kata yang terdengar sederhana itu?

Ternyata, nama “nasi uduk” bukan sekadar label kuliner. Ia menyimpan jejak sejarah, akulturasi budaya, bahkan filosofi hidup masyarakat Betawi dan Jawa.

Dari dapur rakyat hingga meja selamatan, dari istilah linguistik hingga makna spiritual, nasi uduk menjadi bukti bahwa makanan bisa menjadi bahasa yang menyatukan rasa dan makna.

Asal Usul Nama “Uduk”: Dari Bahasa, Budaya, hingga Spiritualitas

Nasi uduk
Nasi uduk Betawi. (Wikimedia Commons/Wibowo Djatmiko)

Ada beberapa versi menarik tentang asal-usul nama “nasi uduk”. Dalam bahasa Betawi, kata uduk berarti “campur” atau “aduk”.

Hal tersebut mengacu pada proses memasak nasi dengan santan dan rempah-rempah. Sementara dalam bahasa Sunda, uduk juga bisa berarti “bersatu” atau “bercampur”, yang mencerminkan filosofi kebersamaan dalam sepiring nasi.

Versi lain yang lebih filosofis menyebut bahwa “uduk” berasal dari kata Arab tawadhu’ yang berarti rendah hati. Dalam cerita rakyat Jawa, nasi uduk awalnya disebut “nasi wudhu”, karena proses memasaknya dianggap sebagai bentuk penyucian.

Yang dimaksud adalah beras dicuci bersih, lalu dimasak dengan santan yang putih dan suci. Seiring waktu, pelafalan “wudhu” berubah menjadi “uduk”.

Dalam tradisi Jawa dan Betawi, nasi uduk sering disajikan dalam acara selamatan, kenduri, atau bancakan. Ia melambangkan doa, rasa syukur, dan harapan akan hidup yang “bercampur” dengan kebaikan.

Bahkan ayam ingkung yang sering menjadi lauk pendamping pun punya makna. Bentuknya yang duduk bersimpuh melambangkan kerendahan hati di hadapan Tuhan.

Nasi Uduk sebagai Simbol Akulturasi

Nasi uduk bukan hanya milik satu budaya. Ia adalah hasil pertemuan antara tradisi Melayu (nasi lemak), Jawa (nasi gurih), dan pengaruh Arab (penggunaan rempah dan santan).

Menurut ahli kuliner Betawi, Pudentia, nasi uduk adalah contoh nyata dari silang budaya yang harmonis di Batavia—tempat orang Melayu, Jawa, Tionghoa, dan Arab hidup berdampingan.

Dari Dapur Rakyat ke Ikon Kuliner Nasional

Nasi uduk
Pedagang nasi uduk. (Wikimedia Commons/Satelit BM9)

Awalnya, nasi uduk dijual di gerobak-gerobak sederhana, terutama di kawasan Kebon Kacang, Tanah Abang. Ciri khasnya, nasi dibungkus daun pisang berbentuk kerucut, disajikan dengan taburan bawang goreng dan sambal kacang yang kental.

Kini, nasi uduk bisa ditemukan di mana saja, dari warung kaki lima hingga restoran modern. Tapi esensinya tetap sama, makanan yang menghangatkan perut dan hati.***