1. Home
  2. Nusarasa

Seblak: Perjalanan Rasa dari Warung ke Tren Kuliner Nasional

Nusarasa

Seblak lahir dari kreativitas dan keberanian mengeksplorasi rasa, sekaligus simbol bagaimana budaya kuliner lokal bisa berkembang.

seblak kerupuk
Seblak kerupuk. (Cookpad/Retno Janitra)

SOEAT - Seporsi seblak mi diletakkan pramusaji di atas meja, tepat di hadapan ketika berkunjung ke Kedai Kopi Haben, Jalan Kalipah Apo, Bandung, beberapa waktu lalu. Penampakan dan plating cukup cantik, dengan menonjolkan warna oranye kemerahan, serta rupa-rupa tekstur isian seblak. Begitu dicecap lidah, perasaan bahagia langsung membuncah.

Empat dekade lalu, tepatnya pertengahan 1990-an, barangkali tak ada yang menyangka, seblak bisa tetap berjaya "menembus" ruang dan waktu. Seblak tak menyerah digempur perkembangan zaman, yang tentu saja dihiasi berbagai inovasi kuliner.

Secara ruang, seblak dulu lahir dengan memanfaatkan bahan makanan sisa, kondisi seadanya, dan banyak dijajakan pedagang kaki lima. Kini, seblak banyak ditemukan di berbagai kedai dan kafe. Bahkan, restoran dan hotel mewah. 

Menu seblak mi di Kedai Kopi Haben, menjadi sekelumit "saksi" yang bersuara bahwa seblak memang seluwes itu. Ia bisa saja hadir di warung atau gerobak tanpa nama, hingga menjadi primadona buku menu di hotel bintang lima.

Seporsi Seblak Perkuat Kebersamaan

Seblak, diketahui berasal dari tahun 1900-an dan mulai populer tahun 2000-an di Jawa Barat, terutama Bandung. Seblak tidak hanya berperan sebagai makanan khas. Ia juga menjadi simbol identitas regional yang memperkuat rasa kebersamaan masyarakat.

Awalnya, seblak dibuat di dapur rumahan dan banyak dijajakan pedagang kecil dan kaki lima. Harganya murah meriah, cocok di kocek semua kalangan. Dengan Rp5.000 atau lebih murah, kita sudah bisa menikmati seporsi seblak.

Seblak mamah saleh
Seblak mamah saleh - Rhevi Google Bisnis

Riadi Darwis, dosen Politeknik Pariwisata NHI Bandung yang juga dikenal sebagai pengamat gastronomi Sunda, menyebut bahwa hingga kini, tidak ada literasi yang memaparkan sejarah seblak secara valid. Tidak ada catatan resmi atau nama tokoh yang secara pasti disebut sebagai penemu seblak.

"Tapi apakah seblak bisa dikatakan menjadi salah satu identitas kuliner Sunda? Tentu, ya! Karena ia lahir dan berkembang di komunitas dan masyarakat Sunda," kata Riadi Darwis.

Meski demikian, cikal bakal seblak konon sudah ada sejak zaman kemerdekaan. Di Garut, ada makanan serupa bernama kurupuk leor (kerupuk lemas), yaitu kerupuk mentah yang dimasak dengan bumbu bawang putih dan cabai rawit.

Di Jawa Tengah, dikenal juga kerupuk godog atau kerupuk rebus. Pembeda seblak dari keduanya adalah penggunaan kencur, yang menjadi ciri khas utama serta memberi rasa menyengat yang unik.

"Meski tidak ada bukti pasti bahwa seblak berasal dari Bandung, tapi awal penyebarannya diketahui berada di kawasan Priangan seperti Garut, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Cianjur, dan tentu saja Bandung dan sekitarnya," ucap Riadi Darwis.

Hal itu terjadi lantaran kawasan Priangan merupakan pusat pertemuan yang secara ekonomi menjadi jalur perdagangan penting di Jawa Barat. Dengan dinamika masyarakat Sunda yang begitu luar biasa dalam menciptakan sebuah cita rasa, seblak kemudian bertemu dengan orang-orang dari berbagai kalangan dan latar belakang.

"Ini menjadi kunci penting terhadap keberlangsungan dan inovasi seblak. Karena sudah dikenal berbagai macam orang, ada cita rasa yang bertambah. Misalnya, seblak yang awalnya hanya kerupuk, bertambah menjadi tulang dan ceker, bakso, hingga topping mutakhir seperti keju leleh," tuturnya.

Popularitas Seblak Ikut Nyegak

Ada pendapat yang menyebut bahwa nama ‘seblak’ berasal dari kata dalam bahasa Sunda, ‘nyeblak’ atau ‘segak’, yang berarti ‘menyengat’ atau ‘mengagetkan’. Hal ini menggambarkan sensasi pedas dan aroma kuat dari kencur dan cabai.

Seblak mulai populer secara luas sekira tahun 2000-an di Bandung. Salah satu teori menyebutkan bahwa seblak lahir dari kreativitas masyarakat yang ingin mengolah kerupuk lama yang sudah tidak renyah jika digoreng. Daripada dibuang, kerupuk itu direndam dan dimasak dengan bumbu pedas, lalu ditambahkan berbagai isian seperti telur, bakso, siomay, hingga ceker.

Kini, seblak tak lagi hanya milik pedagang kaki lima. Banyak restoran dan kafe yang menyajikan seblak dalam versi premium, lengkap dengan topping kekinian dan penyajian cantik, di tempat yang Instagramable.

Bahkan, beberapa merek seblak instan mulai bermunculan. Fenomena Ini menjadikan seblak semakin mudah diakses siapa saja, kapan saja.

Meski begitu, di tengah eksistensi seblak sebagai salah satu tren kuliner nasional, esensi seblak tetap sama. Ia adalah makanan rakyat yang lahir dari kreativitas dan keberanian mengeksplorasi rasa, sekaligus simbol bagaimana budaya kuliner lokal bisa berkembang dan menyesuaikan zaman tanpa kehilangan jati diri.***