- Home
- Nusarasa
Spanduk Kuliner Kaki Lima: Huruf, Gambar, dan Warna yang Terasa di Lidah
Kehadiran spanduk kuliner kaki lima dengan gaya visual khasnya menjadikan ia bukan sekadar iklan. Ia adalah ikon budaya yang hidup dan terus berevolusi.
-400.jpg)
SOEAT - Kuliner kaki lima sudah lama menjadi nadi kehidupan urban di Indonesia. Mereka menyajikan hidangan yang terjangkau dan mudah diakses masyarakat setiap harinya. Fenomena ini bukan sekadar transaksi jual-beli, melainkan ekosistem budaya yang kompleks. Keberadaannya seringkali diwakili oleh "angkringan" atau gerobak dorong yang menjual berbagai makanan dan minuman di pinggir jalan.
Pedagang kaki lima (PKL) sudah tak terpisahkan dari lanskap sosial dan ekonomi kita, bahkan diakui sebagai bagian vital perekonomian nasional. Survei menunjukkan, 79 persen masyarakat Indonesia lebih suka makan di luar rumah khususnya di lapak PKL atau street food. Angka ini menegaskan begitu diterimanya mereka di tengah masyarakat kita.
Spanduk kuliner kaki lima berdiri sebagai penanda visual yang tak terpisahkan dari identitas mereka. Spanduk-spanduk ini bukan hanya alat promosi sederhana, melainkan kanvas yang merefleksikan sejarah panjang, nilai seni vernakular, makna tersembunyi, dan bahkan efek psikologis yang memengaruhi selera serta keputusan konsumen.
Sebagai strategi promosi utama, lebih dari 80 persen PKL menampilkan bahasa persuasif dalam spanduk. Spanduk memegang peran sentral dalam keberlangsungan ekosistem kuliner jalanan ini.
Spanduk menjadi inti seluruh ekosistem sosial-ekonomi dan budaya tenda kuliner kaki lima. Meski PKL kerap jadi "kebanggaan" karena ketahanan dan peran ekonominya, mereka juga kerap dicap sebagai "pemandangan yang mengganggu dan tidak higienis yang menyumbat jalanan". Spanduk, sebagai bentuk ekspresi yang paling terlihat, mewujudkan ruang yang diperdebatkan ini.
Jejak Spanduk Kaki Lima: dari "Five Foot Way" hingga Pecel Lele yang Ikonik
Istilah "kaki lima" memiliki akar sejarah dari era penjajahan Belanda. Sebutan ini merujuk pada "five foot way" atau jalur pejalan kaki selebar lima kaki yang wajib disediakan di depan bangunan-bangunan besar. Lahan ini, secara tak sengaja, jadi tempat mangkal para pedagang keliling.
Belakangan, ada penafsiran keliru. Istilah "five foot" disalahmaknakan menjadi "lima kaki" yaitu gerobak beroda tiga ditambah dua kaki penjualnya. Munculnya kesalahpahaman itu menambah nuansa unik pada sebutannya dan menciptakan identitas yang melekat hingga kini.
PKL menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap perkotaan Indonesia selama berabad-abad, muncul sebagai respons terhadap kebutuhan ekonomi masyarakat menengah ke bawah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Dalam artikel bertajuk “10 Pertanyaan Bikin Penasaran Buat Maestro Pelukis Spanduk Warung Pecel Lele” yang tayang di VICE, spanduk lukis tangan, khususnya untuk warung pecel lele, terlacak lahir sekira tahun 1978.
Hartono, seorang maestro pelukis spanduk pecel lele, menceritakan bahwa awalnya gaya seni itu lahir karena orang Lamongan yang tinggal di Jakarta banyak menjual soto. Seiring waktu, menu berkembang dengan tambahan nasi uduk, ayam goreng, belut, hingga lele yang budidayanya lebih mudah. Spanduk yang mulanya bergambar soto pun bertambah dengan gambar ayam dan lele.
Penyebaran gaya lukisan spanduk ini terjadi secara organik dari mulut ke mulut. Hartono menjelaskan, pedagang yang sukses akan diikuti oleh "anak buah" mereka yang kemudian membuka usaha sendiri, meniru spanduk "bosnya".
Hartono mulai memberanikan diri melukis spanduk tahun 1992 sambil berjualan pecel lele. Sejak 2008, ia sepenuhnya menjadi pelukis spanduk setelah memiliki sekira 700 klien.
Ia belajar teknik melukis dari temannya, Teguh, seniman lukis yang sudah menjuarai lomba sejak sekolah dasar. Proses ini menunjukkan bagaimana bentuk seni vernakular berkembang alami, didorong kebutuhan praktis dan disebarkan melalui jaringan informal.
Adaptasi teknik produksi juga menjadi bagian penting dari evolusi spanduk ini. Hartono mengungkapkan, awalnya pembuatan satu spanduk sepenuhnya dengan lukisan tangan bisa memakan waktu berbulan-bulan. Guna mempercepat proses dan memenuhi permintaan konsumen, ia mengombinasikan sablon untuk huruf serta lukisan untuk gambarnya. Bahkan, kini ia memanfaatkan perangkat lunak desain seperti Corel Draw untuk mendesain menu sebelum dilukis.
Hal ini menunjukkan kemampuan adaptasi pragmatis dalam seni vernakular, mengintegrasikan teknologi modern untuk efisiensi tanpa mengorbankan esensi gaya tradisional.
Sejarah spanduk PKL, khususnya yang dilukis tangan, berakar pada evolusi yang didorong kebutuhan dan komunitas. Metode "getok tular" atau menyebar dari mulut ke mulut menyoroti bentuk seni vernakular yang benar-benar informal, diturunkan secara tidak resmi, dan tidak berasal dari institusi desain formal.
Fakta itumenunjukkan ekspresi artistik yang berkembang dari bawah ke atas, dibentuk kebutuhan praktis. Ada kecenderungan untuk tetap memakai spanduk lukis tangan dibanding digital meski ada kemajuan teknologi.
Hal itu menekankan bagaimana fungsi dan daya tahan dalam lingkungan jalanan yang dinamis menentukan pilihan desain, bukan hanya tren estetika.
Hartono secara eksplisit menyebutkan kelemahan banner digital yang mudah pecah saat sering digulung, tidak tembus cahaya pada malam hari, dan memantulkan sinar lampu mobil.
Sementara spanduk kain lukis tangan, sebaliknya, tahan lama dan cocok untuk sering dipasang dan dibongkar. Ada hubungan sebab-akibat langsung antara tuntutan operasional dan pilihan bahan serta desain.
Inklusi konsisten kata "Lamongan" pada spanduk Pecel Lele berfungsi sebagai strategi branding geografis yang informal tetapi kuat. Lamongan menjadi penanda keaslian dan kualitas, menciptakan identitas merek kolektif untuk seluruh industri pecel lele sehingga langsung dikenali konsumen.
Keseragaman ini, bahkan tanpa otoritas pusat, menciptakan identitas merek yang mudah dikenali untuk para pedagang pecel lele. Di sisi lain, juga memudahkan konsumen menemukan dan mempercayainya. Semua itu adalah contoh kuat dari branding yang muncul secara terdesentralisasi di sektor informal.
Seni Vernakular Spanduk Kaki Lima: Estetika Jalanan yang Memikat
Seni vernakular, atau vernacular art, adalah karya seniman yang biasanya belajar otodidak dan bekerja di luar ranah seni formal seperti akademi seni dan galeri. Seni ini mencakup berbagai bentuk seni visual yang lahir dari komunitas dan budaya tertentu. Seni vernakular acap memakai bahan-bahan lokal serta teknik tradisional.
Spanduk kuliner kaki lima kerap menampilkan estetika yang kuat. Oleh para peneliti, hal itu disebut sebagai "tipografi vernakular". Tipografi ini berfungsi sebagai identitas bisnis dan terhubung erat dengan budaya urban lokal.
Meski sering terabaikan, penelitian yang dilakukan Institut Teknologi Nasional Bandung tahun 2023 menunjukkan bahwa 95,2 persen masyarakat mengamati keberadaan huruf vernakular ini pada spanduk, menegaskan visibilitas dan dampaknya yang luas.
Setidaknya, elemen desain spanduk kaki lima menunjukkan 4 karakteristik khas yaitu tipografi, ilustrasi, warna, dan komposisi.
Untuk urusan tipografi, spanduk memakai "lettering" dengan karakteristik unik seperti penggunaan huruf besar (uppercase) yang dominan dengan selingan huruf kecil (lowercase), struktur huruf tegak, dan bobot huruf yang tebal. Bentuk ujung huruf seringkali bulat, meski ada juga yang lancip.
Pemilihan jenis huruf yang besar dan mudah dibaca sangat penting untuk visibilitas dari jauh. Penggunaan warna yang kontras dengan latar belakang, seperti teks berwarna dengan latar putih, memastikan keterbacaan yang baik dari jarak pandang normal 6 meter.
Soal Ilustrasi, gambar hewan di spanduk pecel lele, ayam, dan seafood seringkali digambar dengan gaya "tidak nyata" atau mendekati format vektor. Pilihan desain seperti itu disengaja untuk menghindari kesan tidak higienis atau "ketidaknyamanan sensorik" yang bisa ditimbulkan gambar hewan hidup yang terlalu realistis seperti bulu unggas, lendir lele, atau bau amis kepiting".
Dalam hal warna, pemakaian warna cerah dan mencolok, terutama warna "stabilo" (fluorescent) adalah pakem utama. Hartono, sang maestro pelukis spanduk, menjelaskan bahwa hal itu bertujuan "memanipulasi warna pada malam hari agar spanduk terlihat mencolok di bawah sinar lampu jalan yang kekuningan. Merah atau oranye juga populer karena memberi kesan energik dan urgensi.
Sementara mengenai komposisi dan informasi, spanduk umumnya mencantumkan nama warung, nama makanan utama misalnya “Pecel Lele”, dan identitas asal seperti "Lamongan"). Gambar makanan yang tampak lezat dan nyata sering menjadi fokus utama desain untuk memancing selera makan pelanggan.
Ada kalanya, spanduk kaki lima juga menjadi wadah kreativitas promosi unik. Contohnya, seorang pedagang nasi pecel membuat spanduk menyerupai kampanye caleg lengkap dengan programnya. Tren itu menunjukkan adaptasi budaya populer ke dalam strategi pemasaran yang cerdas dan menarik perhatian.
Dalam jurnal Universitas Esa Unggul volume 6, Nomor 1, Oktober 2018, disebutkan bahwa gambar realistis hewan hidup dapat menciptakan kesan tidak higienis dan ketidaknyamanan sensorik. Oleh karena itu, gaya vektor yang tidak nyata adalah solusi desain fungsional untuk masalah psikologis terkait persepsi makanan.
Penggambaran hewan yang tidak nyata atau mirip vektor bukanlah kekurangan keterampilan artistik, melainkan pilihan estetika yang disengaja dan fungsional untuk menghindari asosiasi psikologis negatif.
Evolusi dari spanduk yang sepenuhnya dilukis tangan menjadi kombinasi sablon bahkan penggunaan alat digital menunjukkan adaptasi dinamis dari bentuk seni vernakular ini. Prosesnya tidak statis, melainkan mengintegrasikan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi sambil mempertahankan elemen estetika intinya.
Ada tren yang menunjukkan bahwa meski gaya vernakular bertahan, metode produksinya berkembang. Itulah bukti ketahanan dan ketajaman bisnis di sektor informal.
Penggunaan konsisten warna "stabilo" (fluorescent) adalah respons langsung terhadap tantangan visibilitas pada malam hari di bawah lampu jalan. Hal ini menyoroti bagaimana lingkungan dan jam operasional sangat memengaruhi pilihan warna, memprioritaskan efek mencolok di atas estetika yang lebih halus.
Kenapa Warna Spanduk Kuliner Kaki Lima Seragam?
Warna punya kekuatan luar biasa untuk membangkitkan perasaan tertentu dan memengaruhi perilaku pelanggan secara tidak langsung. Dalam bisnis kuliner, pemilihan warna spanduk sangat krusial untuk menarik perhatian dan merangsang nafsu makan.
Setidaknya, ada 8 warna yang sering dipakai dalam spanduk kuliner kaki lima yaitu merah, kuning, oranye, hijau, biru, cokelat, hitam, dan warna-warna pastel.
Merah identik dengan energi, semangat, dan secara efektif meningkatkan nafsu makan. Merah menciptakan kesan urgensi, menjadikannya pilihan yang cocok untuk restoran cepat saji.
Kuning melambangkan keceriaan, kehangatan, dan efektif menarik perhatian. Kuning merangsang nafsu makan, terutama untuk makanan manis atau asam. Kombinasi merah dan kuning terbukti sangat efektif menarik perhatian dan meningkatkan nafsu makan pelanggan, seperti yang terlihat pada merek-merek makanan cepat saji global.
Sementara oranye sering dipakai karena menggugah selera, menciptakan rasa hangat, dan ramah. Banyak restoran menggunakan oranye untuk menciptakan suasana nyaman yang mengundang pelanggan untuk menikmati makanan lebih lama.
Hijau dipakai karena memberi kesan sehat, alami, dan menenangkan. Hijau cocok untuk bisnis kuliner yang berfokus pada makanan sehat, seperti salad bar atau jus segar. Walakin, perlu aplikasi hati-hati agar tidak mengurangi selera. Hijau stabilo sering muncul di tenda penjual pecel lele untuk mengakali penerangan yang kurang pada malam hari.
Biru memberi kesan tenang, percaya diri, dan segar. Namun, warna ini umumnya kurang cocok untuk kuliner karena dapat menekan nafsu makan, kecuali seafood atau minuman dingin.
Cokelat memberi kesan alami dan tradisional, cocok untuk bisnis kuliner yang ingin menonjolkan makanan berbasis bahan alami dan resep turun-temurun.
Hitam biasanya dipakai untuk menonjolkan kesan elegan, kuat, dan berkelas. Hitam cocok untuk jenama premium tetapi perlu dikombinasikan dengan warna terang untuk menciptakan kontras.
Sementara warna pastel yang lembut cocok untuk sajian makanan penutup, kedai kopi, atau produk makanan ringan yang menyasar wanita sebagai konsumen.
Meski psikologi warna umum berlaku, adopsi luas kombinasi warna tertentu seperti merah dan kuning untuk makanan cepat saji seperti nasi goreng, menunjukkan asosiasi psikologis yang diperkuat secara budaya.
Warna-warna itu menjadi bagian dari leksikon visual untuk makanan jalanan di Indonesia. Pilihan warna itu secara instan menandakan jenis produk dan pengalaman yang diharapkan.
Keseragaman skema warna tertentu misalnya stabilo untuk pecel lele dan merah/kuning untuk nasi goreng menunjukkan pengkodean budaya dari warna-warna itu. Seiring waktu, pola visual itu menjadi isyarat budaya, memungkinkan konsumen tanpa disadari langsung mengenali jenis makanannya.
Spanduk Kuliner Kaki Lima, Kecerdasan di balik Tanda dan Makna Visual
Dalam semiotika, spanduk kuliner kaki lima dapat dipahami sebagai sistem tanda visual dan verbal yang kompleks, berkomunikasi secara langsung dengan calon konsumen. Setiap elemen mulai dari pemilihan jenis huruf, warna, hingga ilustrasi membawa makna yang melampaui informasi literal.
Semiotika visual pada gambar hewan punya implikasi mendalam. Pemakaian gambar hewan tidak nyata atau bergaya vektor adalah pilihan yang disengaja. Secara denotatif, gambar itu mengacu pada jenis hewan yang dijual. Namun secara konotatif, gaya tidak nyata sengaja dipilih untuk menjaga nafsu makan dan kenyamanan visual konsumen.
Spanduk dengan format vektor dianggap lebih tepat untuk objek hewan hidup. Sementara format realistis lebih efektif untuk gambar makanan yang sudah matang.
Pilihan-pilihan yang dibuat para pelaku bisnis kuliner dan seniman itu menunjukkan bagaimana tanda visual dapat dimanipulasi untuk mengelola persepsi konsumen.
Hal yang kerap jadi masalah bagi penjual bahan mentah atau hewan hidup adalah adanya kemungkinan pelanggan mengasosiasikan gambar asli dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Solusinya, spanduk dilukis tangan secara tradisional.
Label "Lamongan" pada spanduk Pecel Lele adalah penanda semiotik yang kuat. Label itu memanfaatkan reputasi daerah asal untuk membangun kepercayaan konsumen tanpa perlu promosi yang mahal.
Spanduk Kuliner Kaki Lima Wujud Semangat Kaum Urban
Spanduk kuliner kaki lima bukan hanya alat promosi, tetapi juga penanda kehadiran, ketahanan, dan perjuangan ekonomi. Spanduk kuliner kaki lima telah membentuk estetika urban Indonesia. Dengan kata lain, yang membuat jalanan di Indonesia terlihat “seperti di Indonesia” adalah karena kehadiran spanduk-spanduk itu.
Ia memfasilitasi interaksi sosial di ruang publik, dan berperan dalam pelestarian warisan kuliner. Spanduk kuliner kaki lima adalah wujud dari kecerdikan, ketahanan, dan kreativitas menghadapi tantangan ekonomi dan sosial.
Kehadirannya yang masif dengan gaya visual khasnya menjadikan spanduk kaki lima lebih dari sekadar iklan. Ia adalah ikon budaya yang hidup dan terus berevolusi.
Meski sering beroperasi di tengah tantangan regulasi dan persepsi publik, spanduk kuliner kaki lima tetap jadi simbol ketahanan dan inovasi. Ia adalah narasi visual yang menceritakan makanan, masyarakat, dan semangat urban Indonesia.***