- Home
- Nusarasa
Batagor: Kreativitas Kuliner yang Mendobrak Batasan Kelas
Kehadiran batagor dalam berbagai kasta harga menggambarkan fleksibilitasnya menjangkau segmen konsumen yagn luas.

SOEAT – Batagor, kolaborasi ikan tenggiri dan tepung tapioka berpadu dalam adonan nan kalis. Sepotong tahu segitiga dan selembar kulit pangsit siap diisi adonan tersebut.
Tahu dan kulit pangsit masuk ke minyak goreng panas. Aroma ikan berpadu dengan panasnya wajan. Ketika sudah kuning kecokelatan, sepotong batagor siap dihidangkan bersama bumbu kacang dan kecap atau kuah gurih hangat.
Batagor atau bakso tahu goreng identik dengan Bandung. Coba saja, saat melancong ke kota lain di Indonesia dan menemukan penjual batagor, mereka selalu melabeli dagangannya dengan “batagor Bandung”.
Jejak batagor tak bisa lepas dari siomay dan bakso tahu, panganan khas Bandung lainnya. Mengutip berbagai sumber, batagor lahir dari kreativitas pedagang bernama Isan pada era 1960-an. Ketika itu, Isan berjualan bakso tahu kukus keliling.
Saat berjualan, Isan harus menghadapi risiko kalau dagangannya tak habis. Alhasil, agar tidak mubazir, dia berpikir untuk menggoreng bakso tahu kukusnya.
Setelah digoreng, dia mencocolnya ke saus kacang, saus yang juga digunakan untuk bakso tahu. Tekstur batagor yang renyah di luar dan kenyal di dalam membuat kudapan ini memiliki karakter khas.
Isan tak menyangka bahwa batagornya disambut antusias tetangga. Mereka ketagihan tiap kali Isan memberi batagor. Bahkan, mereka rela membeli batagor tersebut.
Pada akhirnya, Isan memilih berjualan batagor, karena lebih laris dibanding bakso tahu kukus. Dia juga menemukan formula untuk menggoreng langsung adonannnya, tanpa perlu mengukusnya.
Semua Makanan tak Mubazir di Tangan Orang Sunda, Batagor Buktinya
Dosen Politeknik Pariwisata NHI Bandung, Dr. Riadi Darwis, M.Pd. menjelaskan, hadirnya batagor di tanah Sunda tak bisa dilepaskan dari masuknya masyarakat Tionghoa. Tak dimungkiri, batagor adalah hasil adaptasi serta akulturasi budaya.
"Tahu dan siomay bukan budaya Sunda, karena akarnya dari Tionghoa. Akan tetapi, diadaptasi penduduk lokal serta peranakan. Mereka mencoba, kemudian dibuat sedemikian rupa agar cocok dengan lidah orang Sunda," ujar Riadi yang merupakan pengamat gastronomi Sunda.
Riadi Darwis menyebut, batagor yang memakai bumbu kacang dan kecap menambah cita rasa tersendiri. Apalagi, orang Sunda dikenal 'rewel' soal rasa. Saat menyantap makanan, mereka harus merasakan beragam rasa seperti manis, pedas, asin, dan gurih.
Menurut Riadi Darwis, orang Sunda kreatif dan adaptif terhadap perubahan. Buktinya, batagor lahir karena pedagang bakso tahu kukus yang tak ingin membuang dagangannya.
"Di tangan orang Sunda, semua makanan bisa diolah agar tidak mubazir. Coba kalau Lebaran, sisa berbagai makanan dicampur, jadi makanan lagi. Orang Sunda pantang membuang makanan. Hal ini pula yang terjadi pada batagor hingga akhirnya menjadi makanan khas Bandung," ujar Riadi.
Batagor Makanan Inklusif
Menurut Dosen Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia Dr. Heny Hendrayati, batagor adalah makanan inklusif. Fenomena ini menyentuh dinamika sosial-ekonomi yang tecermin dalam pola konsumsi batagor di masyarakat. Kehadiran batagor dalam berbagai kasta harga menggambarkan fleksibilitasnya menjangkau segmen konsumen yagn luas.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan stratifikasi ekonomi masyarakat, tetapi juga membuktikan bahwa batagor sebagai makanan yang bersifat inklusif dan mudah diakses oleh lapisan sosial berbeda.
Dari sisi pola konsumsi, varian batagor kelas 'sultan' yang dijual di restoran dengan harga premium biasanya menawarkan kualitas bahan baku lebih tinggi, inovasi rasa, dan layanan yang lebih eksklusif. Konsumen kelas menengah ke atas akan mencari pengalaman kuliner dengan standar berbeda, khususnya bagi wisatawan yang berkunjung ke Bandung.
Sementara itu, batagor gerobak kaki lima yang harganya terjangkau menjadi pilihan utama bagi masyarakat luas, termasuk kelas pekerja dan pelajar, sebagai makanan cepat saji yang praktis dan ekonomis.
Eksistensi batagor di dua sisi berbeda ini memperkuat daya tariknya sebagai produk kuliner yang mampu menyesuaikan diri dengan daya beli dan preferensi pasar yang beragam.
"Batagor menciptakan ekosistem konsumsi yang luas. Batagor tak sekadar makanan, tapi juga simbol budaya yang dapat dinikmati siapa saja tanpa batasan kelas sosial. Pola konsumsi seperti ini juga membuka peluang bagi pelaku UMKM di sektor makanan untuk berkembang, sekaligus mendukung diversifikasi produk dan inovasi bisnis yang berkelanjutan," ujar dia.***