- Home
- Nusarasa
Bakso Nusantara: Sejarah, Evolusi, dan Keunikan yang Menyatukan Indonesia
Kuatnya tradisi makan bakso di nusantara terjadi karena mudahnya menemukan bahan baku bakso dan mi di berbagai wilayah.

SOEAT - Akar sejarah kuliner bakso di Indonesia tidak lepas dari campur tangan budaya Tionghoa. Saat Tiongkok dikuasai Dinasti Ming (1368-1644), dikisahkan seorang pemuda bernama Meng Bo ingin membuat makanan lezat untuk ibunya yang sakit. Terinspirasi dari mochi, pemuda itu menciptakan sajian daging giling yang dibentuk bulat dan dihidangkan dengan kuah kaldu hangat.
Dalam bahasa Hokkien dengan dialek Tiongkok, kata 'bak' pada bakso diartikan sebagai daging giling. Bakso datang ke meja makan orang Indonesia diduga dibawa imigran dan pedagang Tionghoa.
Sejarah panjang bakso tak bisa lepas dari perjalanan mi yang sama panjangnya. Kolaborasi keduanya membuat bakso bukan sekadar makanan hasil akulturasi, tapi sudah jadi entitas yang melekat erat pada budaya nusantara, khususnya Pulau Jawa.
Pakar gastronomi nusantara, Dr. Dewi Turgarini, M.M.PAR. menjelaskan, sejarah panjang bakso bisa dimulai dari sejarah panjang mi. Jika bakso datang karena dibawa dari budaya Tionghoa, mi beda cerita.
Piagam Biluluk dari tahun 1391 di zaman Kerajaan Majapahit menggambarkan bahwa tradisi ngalaksa atau membuat mi tipis sudah ada. Sehingga, ketika paduan mi dan olahan bakso datang dikenalkan Laksamana Cheng Ho yang pertama kali datang ke Semarang, kombinasi keduanya segera saja disukai masyarakat.
Dewi yang juga dosen pengampu mata kuliah gastronomi nusantara dan gastronomi digital, Prodi Manajemen Industri Katering FPIPS UPI ini menerangkan, kuatnya tradisi makan bakso juga terjadi karena mudahnya menemukan bahan baku bakso dan mi di berbagai wilayah. Setidaknya, kantung-kantung pusat pembuatan bakso ada di banyak kota seperti Solo, Wonogiri, dan Malang.
"Untuk Bandung, migrasi besar-besaran orang Tionghoa dari Yogyakarta kala Perang Diponegoro (1825-1930) membuat budayanya juga tumbuh subur. Salah satu pusat pembuatan bakso dan mi di Bandung adalah di Pangalengan," katanya.
Tidak seperti bakso di Jawa, bakso orang Sunda, kata Dewi, adalah yang paling dekat dengan nenek moyangnya. Mi Tasik contohnya, jelas beda dengan bakso racikan modifikasi pribumi karena dekat sekali dengan cita rasa Tionghoa.
Mi Tasik yakni makanan berkuah dengan bumbu simpel dan disukai kalangan orang tua dan orang sakit karena nyaman di pencernaan. Bisa jadi, mi dan bakso berkuah cepat diterima pribumi karena ada kejenuhan dengan hidangan nusantara yang dikenal kaya rempah dan bersantan.
"Indonesia memang kaya akan kelapa. Jelas kulinernya akan sesuai dengan bahan baku yang mudah diperoleh. Hal ini yang membuat budaya makan bakso tumbuh saat Lebaran karena orang sudah jenuh dengan makanan bersantan. Jadi, cari yang segar," katanya.
Dalam perkembangannya, bakso dan mi jelas mendapat sentuhan modifikasi dan inovasi. Hanya di Indonesia, mi bakso ada kuah pisah dan yamin manis, juga ditaburi potongan rawit.
Dalam pembuatan aslinya, bakso adalah daging yang dicincang kasar dengan pisau besar melengkung karena pada zaman dahulu belum ada mesin penggiling daging.
Hal ini yang membuat sajian bakso dirasa mahal. Lalu orang Indonesia dengan segala kreativitasnya lantas mengakali pembuatan bakso dari berbagai bahan baku. Lagi-lagi, bergantung pada sumber terdekat.
"Misalnya di wilayah yang banyak hewan ternak sapi, pakai daging sapi. Kalau ingin lebih murah, pakai ayam atau ikan jika di daerah pesisir," tutur Dewi.
Menyiasati pembuatan mi sesuai ketersediaan bahan baku juga terjadi pada mi. Mi leor di Sukabumi dibuat dari tepung aren sesuai kekayaan daerahnya. Ada juga mi lethek di Yogyakarta yang dibuat dari singkong atau tepung tapioka.
Untuk kuah kaldu. Bakso Jawa memang dikenal berkuah paling medhok dengan kaldu balung sapi yang membuat warnanya keruh gurih berlemak.
Masuk ke wilayah Sunda, kuahnya lebih jernih karena dibuat dari rebusan ayam. Apalagi kuah dari bakso ikan yang pasti paling bening.
Tukang Bakso Selalu Ada di Setiap Sudut Jalan
Apa pun masalahnya, selesaikan dengan bakso. Bak kembar siam, bakso lekat dengan Bandung. Tukang baso di Bandung, mah, balatak. Pecinta bakso di Bandung sangat banyak. Sehingga, tukang bakso akan selalu eksis dan usahanya bisa diwariskan. Dodo Darsono salah satunya. Ia meneruskan usaha Bakso Bonpis alias Kebon Pisang di Jalan Baranangsiang, Bandung. Ayahnya merantau ke Bandung dari Karanganyar, Solo, dan berjualan bakso sejak tahun 1969 di daerah Sukajadi.
Jenis bakso yang dijual adalah 'bakso Sunda'. Ini adalah sebutan bagi jenis yamin bakso dengan ciri khas kuah dan baksonya dipisah dari mi atau bihunnya.
“Bedanya dengan bakso solo, dari kuahnya. Bakso Sunda menggunakan kuah kaldu ayam, dan bakso Solo pakai balung sapi yang membuat kaldu kuah bakso Solo lebih lekoh dan kental. Kuah bakso Sunda lebih light,” kata Dodo.
Sulit melacak mana warung bakso paling tua di Bandung. Namun kalau dikatakan paling legendaris, Bakso Linggarjati di Jalan Balonggede biasanya masuk daftar.
Bakso Linggarjati dikatakan sudah ada sejak 1950-an. Tipe baksonya yaitu punya mi kenyal dan kuah kaldu jernih. Pelanggan paling suka pelengkap babat dan siomay.
Ada juga yang sudah berjualan selama 60 tahun seperti bakso urat Pak Oboy di Jalan Sawahkurung. Ciri khasnya, pelanggan bebas memakai tauge mentah yang menambah tekstur kriuk.
Atau, sudah coba bakso Mie Baso Akung yang sudah lebih dari 20 tahun di Bandung? Tipe bakmi dengan taburan daging ayam suwir, bisa dibuat manis atau asin.
Tentu masih banyak tempat makan bakso lain dan juga legendaris di Bandung. Semua sesuai selera lidah dan kesukaan. Jika kita berusaha mencoba satu hari satu tempat bakso, kelihatannya setahun pun masih kurang untuk menjajal seluruh pedagang bakso yang ada di Bandung.
Seperti kebanyakan kuliner di Bandung, bakso sedap disantap kapan saja. Tak mengenal waktu dan musim.
Saat cuaca dingin, bakso jadi penyelamat tubuh yang menggigil. Saat udara panas, melahap semangkuk bakso panas berkuah kaldu lengkap dengan saus, kucuran kecap manis, sedikit cuka, dan satu dua sendok sambal rawit segar mampu menggelorakan hari.
Saat Lebaran, pagi makan rendang, siangnya ngabaso. Hal ini diakui Riefky Darmawan (47) yang gemar sekali bakso. Baginya, menyantap bakso itu sebuah petualangan. Sebagai warga Bandung yang tumbuh dengan aneka perkembangan bakso, dia begitu hafal tempat makan bakso di seantero kota.
"Bakso itu enak, mudah dicari. Kuahnya sih yang harus enak. Baru lihat mi dan baksonya. Saya lebih suka bakso biasa daripada yang macam-macam isinya. Tidak suka kuah bening, harus misdaseum (amis-lada-haseum)," katanya.
Pergi ke mana pun, dia senantiasa mencari bakso. Saat berdinas ke luar kota, sebisa mungkin dia mencicipi bakso setempat. Ke Malang, ke Padang, ke Kalimantan pun dia mencari bakso. Bahkan saat berhaji, ia gembira karena menemukan pedagang bakso asal Indonesia dan bolak balik makan bakso di sana.
Di tatar Sunda, bakso Tasik jadi yang paling populer. Jenis bakso yang mi dan kuahnya dipisah, alias yamin. Kalau pakai bihun, namanya yahun. Bisa dibuat manis, atau asin.
Ada lagi bakso Solo dari tanah jawa. Kuahnya lekoh dan medhok, dengan tahu siomay yang biasanya jadi topping. Di Bandung bisa coba Bakso Gunung Giri di Jalan Aceh. Dulu, kedai kecil di parkiran mal, sekarang Bakso Gunung Giri sudah berjualan di ruko sendiri. Kiat kilat, nikmati baksonya dengan sukro, tambahkan sambalnya sesuai level pedas yang disanggupi.
Di Garut, ada bakso aci yang lebih populer. Bahkan di sana ada festival bakso aci. Primadonanya adalah cirawang yakni bakso yang terbuat dari aci, urat, dan bawang.
Bakso Malang beda lagi. Anggotanya banyak dalam satu mangkuk. Tahu, siomay, bakso, itu yang kuah. Ada juga yang keringan, malah bisa dilengkapi tulang iga seperti di Nakso Malang Fortuna.
Jangan lupakan cuankie kalau ke Bandung. Banyak yang kesohor seperti Cuankie Wildan atau Cuankie Serayu. Harus tabah antre jika sedang musim liburan.
Tentu masih banyak pedagang bakso lainnya di Bandung. Meski menjamur, pedagang bakso tak perlu gentar. Penggemar bakso banyak dan setia. Jika dikelola dengan baik, peminatnya akan selalu ada.
Bakso Tak Selalu Bulat Seperti Bola Pingpong
Tahun 1990-an, nama Melisa Hartanto yang kala itu masih bocah, melejit dengan lagunya ‘Abang Tukang Bakso’. Bukan tanpa sebab AT Mahmud menciptakan lagu tersebut.
Pada waktu itu, jajan bakso adalah hal yang lumrah, murah, dan digemari semua kalangan termasuk anak-anak. Ada petuah tak tertulis terutama di Bandung, kalau anak susah makan, coba saja makan nasi pakai bakso.
Bagi sebagian orang, perkenalan dengan bakso sudah dimulai sejak usia dini. "Saya mengenal bakso sejak kecil. Melihat kebiasaan ibu di rumah yang sering jajan bakso. Ternyata enak," ujar Triayani (43), pecinta bakso asal Bandung.
Pada masa kecilnya, bakso adalah makanan rakyat yang murah harganya dan mudah didapat. Sudah banyak tempat makan bakso yang dia coba. Mulai dari kelas elite hingga masuk gang sempit.
Hingga hari ini, kesukaannya adalah mencari referensi bakso yang enak atau berkeliling kota menjajal kedai-kedai bakso. "Bagi saya, bakso yang enak diukur dari kuahnya. Yang kalau pakai sambal saja sudah enak, ini berarti baksonya mantap," katanya.
Mulanya memang bakso dibuat dari daging babi sesuai budaya Tiongkok. Namun, karena penduduk Indonesia mayoritas muslim, pembuatan bakso dimodifikasi dengan jenis daging lain seperti sapi, ayam, ikan, bahkan boga bahari.
Modifikasi atas bakso sungguh sangat beragam. Bisa diisi daging cincang, telur puyuh, telur ayam, atau daging urat. Yang sedang ramai saat ini, bakso dengan isi jando atau lemak sapi seperti di Bakso Djando Guntursari. Dibuat dengan cita rasa bakso Sunda, Bakso Djando Guntursari kenyalnya pas, garing kerenyes tidak lembek, dan serat-serat sapinya gurih karena mengandung 90 persen daging sapi asli.
Di Pasar Cihapit yang sedang tenar menjadi mutiara terpendam kuliner Bandung, ada Bakso Gepeng 99 yang menjual bakso pipih. Bakso Gepeng 99 kenyal, lembut sedikit bertekstur, dan racikan bumbunya tidak membuat enek dengan siraman kuah kaldu sapi yang terasa tebal dan berbumbu.
Bakso Mas Eko Maju di Jalan Wastukencana, Bandung juga sempat mencuri perhatian. Sejak puluhan tahun lalu, bakso ini menuai banyak peminat dengan topping daging iga melimpah.
Dalam sehari, ratusan mangkuk bisa terjual bersama puluhan kilogram iga sapi. Seperti kebanyakan warung bakso di Bandung, kedai bakso ini sederhana. Tidak mewah.
Akan tetapi, justru itu ciri khas ngabaso di Bandung. Saat hujan, kedai bakso biasanya ramai. Saat kemarau, tak kalah ramai. Semakin gerah, semakin membara racikan baksonya.
Baksonya Satu, Minya Macam-Macam
Butiran bakso yang kenyal gurih disajikan dalam mangkuk, ditemani sejumput mi atau soun juga bihun. Siramkan kuah kaldu panas dengan asap mengepul yang diambil dadakan dari panci besar. Makan bakso semakin sempurna dengan pelengkap bawang goreng atau daun seledri.
Lebih meriah, menyantap bakso dengan ditemani kerupuk kulit, siomay kering, atau kikil sapi, daging iga, hingga tetelan. Modifikasi bakso sungguh sangat beragam. Mulai dari bermain dengan kaldu, berinovasi dengan mi, atau mengolah bakso-bakso dengan isian aneka macam.
Untuk bisa bertahan hingga hampir 50 tahun, Dodo Darsono yang kini meneruskan usaha Mie Baso Bonpis Bandung mengatakan, kuncinya ada pada kualitas yang selalu dipertahankan. Mi, bakso, hingga sambal, dan bawang goreng dia buat sendiri.
“Selain mi kuning biasa, kami juga membuat mi hijau dari bayam sebagai variasi yang bisa dicoba pelanggan,” katanya.
Makan bakso tanpa mi, bisa, tapi tak sempurna. Kebanyakan orang kalau makan bakso ya bersama mi. Malah terkadang, pelanggan memilih tempat makan bakso mana yang minya enak.
Mi juga sepenting itu dalam bisnis bakso. Selain Dodo yang membuat mi hijau, mi kalong juga hits dari Bakmi 58 Jalan Dalem kaum Bandung. Disebut kalong, alias kelelawar, karena warnanya hitam. Mi di sana terbuat dari campuran terigu dan charcoal.
Mi kuning yang jadi legenda perbaksoan di Bandung banyak dijual di pasar tradisional. Dibuat hanya dari terigu dan air. Kalau pakai telur, sebutannya mi telur, enak dijadikan sajian seperti bakmi yamin atau kering.
Ada lagi mi karet seperti di Bakmi Karet Jalan Natuna Bandung. Dinamai demikian karena tipe mi yang digunakan jenis adalah mi yang kenyal dengan ukuran lebih besar dari mi lainnya. Santap bakso di sini kental dengan suasana oriental dengan pelengkap sui kiau atau pangsit rebus kuah udang.
Rupanya, kwetiaw juga bisa menghadirkan kesan sendiri jika digabung dengan bakso dan kuah kaldu. Pengalaman ini bisa ditemukan di Bakso Mawar Jalan Cihampelas Bandung. Sajiannya terasa lebih tradisional dengan topping kerupuk kulit.
Ada juga Bakmi Pelita yang jadi mutiara terpendam karena terletak di Gang Pelita II, Cikutra sejak 1998. Mereka mengandalkan mi lurus buatan sendiri yang kenyal, tanpa pengawet, pewarna, serta penambah rasa.
Tak semua pedagang bakso membuat minya sendiri. Sebagian menggunakan mi keriting sudah jadi yang dibeli di pemasok. Tak masalah, karena menyantap bakso itu gabungan dari setiap elemennya, bakso, kuah, mi, dan yang membuat gong: racikan bumbunya.
Modernisasi Bakso
Sebagai produk budaya, tradisi jajan bakso tidak terlepas dari peran penggemarnya. Mereka yang senang makan bakso adalah pelanggan setia yang membuat bakso terjaga eksistensinya. Namun zaman tak bisa dilawan, harus diikuti arusnya jika ingin bertahan. Dan bakso, kokoh bertahan karena setiap komponennya memodifikasi diri.
Mencari bakso, tak akan pernah sulit. Tuntutan era teknologi membuat pedagang bakso juga tak mau ketinggalan momen. Bakso frozen lumrah dijual, beli bakso online sudah makanan sehari-hari.
Apa pun dilakukan agar bisa terus eksis. Bakso juga ramai di sosial media, bagaimana layar seukuran 4,7 inchi berdampak besar pada bisnis bakso.
Tak jarang kedai bakso dikerubuti warganet yang penasaran. Tentu karena unggahan yang dianggap viral sehingga faktor psikis fear of missing out (FOMO) berlaku.
Bakmi Harmony di Jalan Sersan Bajuri Bandung misalnya. Cukup jauh dari tengah kota, kedai ini sering diserbu pembeli. Bakmi Harmony dikenal dengan sajiannya yang barbar karena dalam semangkuk bakmi, bisa sampai tumpah ruah isian dan toppingnya. Bakmi yang sudah diracik dengan varian bumbu sesuai selera, diberi topping, seperti ayam charsiu, cumi sambal, serta telur rebus, kemudian dibungkus dengan daun pisang lalu dibakar.
Baso Tjap Haji di Jalan Burangrang Bandung jadi saksi nyata bagaimana sosial media menggerakkan bisnisnya. Undang para KOL dan buat sajian mereka jadi viral, dan boom, setiap akhir pekan di tempat ini selalu tercipta antrean mengular.
Bakso juga sudah masuk mal dan kafe yang jadi tempat nongkrong generasi Z. Mereka dikenal senang bersosialisasi di kafe, apalagi tempat ngopi. Menjadi kontradiktif tapi produktif karena di tempat ngopi tersedia menu bakso seperti di Jabarano Coffee.
Tak tanggung-tanggung, menu bakso kerap jadi top tier favorit pelanggan Jabarano Coffee. Soal harga, lebih terjangkau. Soal rasa, sudah pasti luar biasa.
Jika ingin tahu tempat makan apa yang sedang ramai di Bandung, bertanyalah pada orang Jakarta. Bakso Bintang Asia di Jalan Cihapit saat ini sedang jadi bintang. Antreannya bisa sejak jam sarapan hingga makan malam. Dibuat dengan konsep open kitchen, pelanggan bisa melihat apa yang terjadi di dapur mereka.
Kwetiau yang dibuat dadakan jadi atraksi menarik. Disajikan dengan kuah bening ringan, kwetiau diberi topping tauge segar dan bakso berukuran kecil yang kaya daging. Entah sampai kapan bakso akan membuat bosan penggemarnya. Tapi kelihatannya, tidak akan ada yang bosan dengan bakso.***