- Home
- Nusarasa
Sejarah Wingko Babat: Dari Resep Keluarga Tionghoa hingga Ikon Oleh-Oleh Semarang
Camilan legit ini ternyata berasal dari Lamongan, bukan Semarang. Temukan sejarah lengkap Wingko Babat yang penuh cita rasa dan perjalanan

Wingko Babat, si legit berbahan dasar kelapa dan tepung ketan, sudah lama dikenal sebagai oleh-oleh khas Semarang. Tapi, tahukah kamu kalau sebenarnya camilan ini berasal dari Babat, sebuah kecamatan kecil di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur?
Perjalanan wingko dari desa ke kota besar bukan cuma soal rasa. Ia mencerminkan kisah migrasi, inovasi bisnis keluarga Tionghoa, dan pertemuan budaya lokal yang menarik untuk disimak.
Asal Usul di Babat: Kisah Cinta, Rasa, dan Bertahan Hidup
Semua bermula pada tahun 1898, saat pasangan perantau Tionghoa—Loe Soe Siang dan Djoa Kiet Nio—mencoba peruntungan di Babat, Lamongan. Dari dapur kecil mereka, tercipta resep sederhana: tepung ketan, parutan kelapa, gula, dan santan. Murah, bergizi, dan cocok dengan lidah lokal.
Pemilihan bahan tak sembarangan. Tepung ketan mencerminkan warisan kuliner Tionghoa, sementara kelapa adalah adaptasi cerdas terhadap bahan lokal yang melimpah.
Anak mereka, Loe Lan Ing, meneruskan usaha ini dan membuka depot wingko di Jalan Raya Babat. Sebuah puisi yang terpajang di depan depot berbunyi:
“Suatu Hari Nanti, Wingko Babat Jadi Terkenal Seperti Pizza dari Italia.”
Visi keluarga ini jauh ke depan—ingin mengangkat makanan rumahan menjadi ikon internasional.
Dari Babat ke Semarang: Lintasan Sejarah dan Resep Keluarga
Tahun 1944 menjadi titik balik. Adik Loe Lan Ing, Loe Lan Hwa, bersama suaminya The Ek Tjong (yang kemudian dikenal sebagai D. Mulyono), pindah ke Semarang menyusul kerusuhan pasca-Perang Dunia II.
Mereka membawa serta resep wingko dan mulai memproduksinya kembali di kota baru. Awalnya dijual dari pintu ke pintu, dan dititipkan di kios Stasiun Tawang.
Untuk membedakan produk mereka, keluarga ini menciptakan merek Cap Spoor, terinspirasi dari logo gerbong kereta tempat D. Mulyono bekerja. Inilah cikal bakal merek legendaris Cap Kereta Api, yang hingga kini mendominasi pasar wingko modern.
Pertarungan Cita Rasa: Lamongan Tetap Tradisional, Semarang Inovatif
Di Lamongan, tradisi tetap dijaga. Produsen seperti Wingko Babat Arjuna dan Cap Kelapa Muda mempertahankan resep asli dengan proses pembuatan manual. Ukurannya besar (400 gram), dibungkus aluminium foil, dan dibanderol sekitar Rp50.000 per buah. Rasa original tetap jadi primadona, walau kini mulai muncul varian kopi dan keju.
Sementara itu, di Semarang, inovasi berjalan cepat. Wingko dikemas dalam versi kecil sekali makan (Rp6.000/buah), dengan rasa-rasa baru seperti durian, cokelat, hingga nangka. Teknologi pemasaran pun masuk: e-commerce, media sosial, bahkan endorsement selebgram.
Namun satu hal tetap sama: oven tradisional masih digunakan, demi mempertahankan cita rasa otentik.
Identitas Ganda: Wingko yang “Lahir di Lamongan, Besar di Semarang”
Kini, ketika orang menyebut "Wingko Babat", pikiran langsung tertuju pada Semarang. Padahal, kampung halamannya ada di Babat—sebuah simpul kecil sejarah kuliner Jawa yang patut mendapat pengakuan lebih luas.
Kisah wingko adalah kisah tentang bertahan hidup, merantau, dan berinovasi tanpa melupakan akar. Ia bukan sekadar camilan, tapi warisan budaya yang hidup dari generasi ke generasi.