1. Home
  2. Nusarasa

Makanan Berbahan Aci di Persimpangan antara Tradisi dan Inovasi

Nusarasa

Dulu, makanan berbasis aci sering dikaitkan dengan kelas sosial menengah ke bawah karena harganya yang murah dan mudah didapat.

Goguma ppang dibuat dari ubi yang dicampur tepung tapioka dan bahan lainnya.
Goguma ppang. (Instagram/@jakulsemarang)

SOEAT - Kehadiran aci atau tepung tapioka tidak akan lepas dari penyebaran penanaman singkong atau ketela pohon ke Indonesia.

Dalam jurnal bertajuk “Bertumbuh Dan Mengakar: Sejarah Pembudidayaan Ketela Pohon di Indonesia” karya Fadly Rahman dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2021, disebutkan bahwa singkong mulai dikenal di tanah air pada abad ke-18.

Berdasarkan penelitian Blokzeijl (1916: 1), pada 1838, ketela pohon untuk pertama kalinya ditanam di Buitenzorg (sekarang Bogor) dan Cianjur. Sejak saat itu, masyarakat pribumi mulai menyukainya sebagai bahan makanan.

Pada dasawarsa 1850-an, ketela pohon semakin populer di Jawa. Dibanding kondisi di Jawa, informasi tentang ketela pohon di kawasan Sumatra sebelum 1850-an sangatlah minim. Di Semenanjung Malaya, berbagai kelompok suku menemukan ketela pohon sekira 1880.

Singkong
Singkong. (Wikimedia Commons/Emoke Denes)

Di kepulauan lainnya, ketela pohon mungkin tumbuh di pulau Seram dan Buru di Maluku Tengah serta pedalaman Kalimantan sebelum 1860. Pada 1880, ketela pohon ditemukan di Kalimantan dan pulau Selayar di lepas pantai barat daya Sulawesi. Juga sekitar waktu itu, ketela pohon dibudidayakan di Maluku Selatan dan di pulau Sumbawa dan Timor.

Di daerah seperti Halmahera dan Seram di Maluku, kepentingan ketela pohon meningkat. Ketela pohon juga menyebar ke New Guinea, Filipina, dan Oseania (Boomgaard, 2003: 597).

Popularitas ketela pohon sebagai bahan makanan rakyat secara bertahap meningkat sehubungan dengan terjadinya alih fungsi lahan kopi di dataran tinggi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di samping itu, ketela pohon umum diolah menjadi tepung tapioka dengan pabrik-pabrik pengolahannya di Hindia yang dimiliki orang-orang China dan Eropa. Produknya diekspor ke pasaran Eropa (Boomgaard, 2003: 598).

Jelang tahun 1900, pertumbuhan budidaya ketela pohon di Jawa Barat mendorong pertumbuhan industri tapioka di Bandung dan Garut. Produknya diekspor hingga ke Singapura dan Inggris (van der Burg, 1904: 191; van der Eng, 1998: 9).

Pesatnya pertumbuhan industri tapioka tentunya dapat dilihat sebagai tingginya permintaan di lapisan konsumen.

Aci Simbol Adaptasi terhadap Tren Kekinian dan Keakanan

Aci memegang peran penting dalam kuliner Indonesia dan Asia Tenggara. Keberadaannya tidak hanya sebagai pengental atau pengisi, tetapi juga sebagai simbol adaptasi pangan lokal terhadap keterbatasan sumber daya.

Di Thailand, aci dipakai dalam moo ping (bakso babi panggang). Di Vietnam, aci menjadi bahan dasar bánh bột lọc (kue tapioka isi udang). Di Filipina, sago (sejenis tapioka) digunakan dalam palitaw (kue tradisional).

Dulu, makanan berbasis aci sering dikaitkan dengan kelas sosial menengah ke bawah karena harganya yang murah dan mudah didapat. Namun dalam perkembangannya, makanan seperti pempek atau cimol telah mengalami gentrifikasi kuliner. Makanan berbahan aci seperti rujak cireng atau cireng banjur kerap dihidangkan di restoran mewah dengan harga lebih tinggi.

Cilok seringkali dijual oleh pedagang kaki lima dan menjadi jajanan populer di kalangan anak-anak dan remaja.
Gerobak pedagang cilok. (Pixabay/Ratna Fitry)

Terkait kehadiran aci, Fadly Rahman mengakui terjadi perubahan pola makan masyarakat modern. Fadly mengungkapkan, seiring pembudidayaan singkong dan industri tepung tapioka, selain dimanfaatkan daunnya sebagai lalapan, masyarakat Jawa Barat mengolah singkong menjadi beragam olahan.

Produksi dan konsumsi singkong di Jawa Barat terhitung terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jawa Barat tahun 2012, produksi singkong di Jawa Barat meningkat pada 2010 (2.017. 400 ton) hingga 2011 (2.058.784 ton).

Dengan semakin banyaknya produksi singkong, produksi tepung tapioka pun meningkat. Hal ini memengaruhi pula kemunculan berbagai tren baru kuliner berbasis aci.

Singkong memiliki cita rasa unik dan dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan tradisional ikonik seperti keripik, getuk, dan tape, yang mengakar dalam khazanah kuliner Nusantara.

Di Kampung Adat Cirendeu, Cimahi, Jawa Barat, singkong tidak hanya makanan. Ia juga fondasi budaya yang mendalam. Masyarakatnya menjadikan rasi atau beras singkong sebagai makanan pokok utama, secara sadar menggantikan nasi.

Filosofi di balik pilihan ini sangat mendalam. Ia merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan Belanda, melambangkan ketahanan, kemandirian, dan perjuangan untuk "kemerdekaan lahir dan batin".

Proses makan rasi di Cirendeu punya makna spiritual yang mendalam, bukan hanya berorientasi pada kebutuhan jasmani. Nilai-nilai ini diwariskan secara turun-temurun. Penggunaan singkong di Cirendeu mencerminkan kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia secara berkelanjutan.

Singkong menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat Cirendeu, melambangkan "sampereun anak incu" (warisan turun-temurun), petuah agar tidak terpaku hanya pada satu jenis bahan pangan pokok. Pilihan ini menunjukkan bagaimana makanan dapat menjadi simbol kedaulatan pangan dan identitas budaya, mencerminkan semangat komunitas yang gigih. Berkat luasnya kebun singkong dan beragamnya olahan singkong sebagai makanan sehari-hari, Kampung Cirendeu bahkan mendapat julukan "Kampung Singkong".

Dampak Ekonomi Singkong bagi Petani dan Industri Lokal

Singkong punya nilai ekonomi signifikan dan berpotensi menguntungkan masyarakat, terutama petani. Volume perdagangan tepung tapioka di Indonesia mencapai 2,09 juta ton dengan nilai bisnis Rp10 triliun (data tahun 2008).

Secara keseluruhan, perdagangan bahan baku singkong dapat mencapai Rp20 triliun per tahun. Singkong juga memberi kontribusi energi yang substansial bagi negara, menyumbang sekira 32% (atau 2,44%) dari total energi nasional.

Meski potensi ekonominya besar, produksi singkong seringkali tidak sepenuhnya diperhitungkan sebagai penyangga stabilitas ekonomi dan pangan nasional. Petani singkong, meski tanamannya mudah tumbuh di lahan kering dan tandus, seringkali dibiarkan menentukan nasibnya sendiri tanpa perlindungan pasar yang memadai.

Hal ini Ini menunjukkan adanya paradoks ekonomi ketika rantai nilai cenderung lebih menguntungkan pengolah atau pedagang, meninggalkan petani di posisi kurang menguntungkan meski mereka adalah fondasi industri.

Petani singkong sering menghadapi keterbatasan modal dan rentan terhadap praktik eksploitasi oleh kelompok ekonomi kuat yang punya akses dan aset lebih besar.

Penetapan harga singkong oleh pemerintah, meski bertujuan baik untuk petani, dapat mengancam daya saing industri tepung tapioka lokal. Harga yang tidak sesuai kemampuan beli industri dapat mendorong peningkatan impor tepung tapioka yang lebih murah.

Tepung tapioka berada di titik persimpangan antara tradisi yang kaya dan modernitas yang inovatif. Kemampuannya untuk menghormati masa lalu yang mendalam sambil secara aktif membentuk masa depan yang berkelanjutan dan inovatif adalah bukti relevansinya yang abadi.***