- Home
- Nusarasa
Tapioka, Kanji, Aci: Tepung Lintas Benua
Tepung tapioka atau aci menjadi fondasi bagi beragam hidangan, khususnya dalam khazanah kuliner Indonesia.

SOEAT - Aneka makanan yang akrab di lidah orang Indonesia saat ini selain berasal dari bahan tepung terigu, ternyata ada andil tepung tapioka. Tepung putih bersih dengan tekstur lebih lembut itu membuat hasil akhir penganan kenyal atau terasa lebih kenyal.
Tepung tapioka dikenal juga dengan nama tepung kanji atau tepung aci. Ketiga nama itu substansinya sama yaitu berasal dari ketela pohon atau singkong (Manihot esculenta).
Penggunaan istilah "tepung tapioka" dan "tepung aci" secara bergantian dalam berbagai konteks menunjukkan adanya identitas ganda dalam persepsi pasar dan pengguna. Istilah "tapioka" mungkin lebih sering dikaitkan dengan konteks formal, industri, atau aplikasi global, termasuk informasi nutrisi dan penggunaan nonpangan.
Sebaliknya, "aci" secara kuat mengacu pada penggunaannya dalam makanan jalanan tradisional Indonesia dan masakan rumahan, terutama populer di Jawa Barat dan di kalangan generasi muda.
Tepung Tapioka Datang Jauh dari Brasil
Mengutip jurnal ilmiah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran bertajuk “Bertumbuh dan Mengakar Sejarah Pembudidayaan Ketela Pohon di Indonesia” karya Fadly Rahman (2021), Manihot diperkirakan mulai dibudidayakan sekira 5.000 tahun lalu. Hingga akhir abad ke-19, kebanyakan peneliti bersepakat singkong berasal dari Amerika Selatan. Mereka mengamati bahwa Brasil adalah daerah asal yang paling mungkin, karena kawasan ini adalah “rumah” bagi pertubuhan aneka ragam Manihot terbesar.
Spesies tanaman asli dari wilayah Utara dan Timur Laut Brasil itu seiring waktu menyebar dan beradaptasi dengan baik di berbagai belahan dunia, termasuk Afrika Barat dan Asia Tenggara. Hal itu terjadi berkat kemampuannya tumbuh subur di kondisi panas dataran rendah tropis.
Singkong adalah satu dari sekian banyak jenis tanaman dari Benua Amerika yang dibawa masuk secara bergelombang ke Nusantara sejak abad ke-16 oleh para pedagang Portugis dan Spanyol (Walujo, 1998: 82).
Fakta bahwa singkong yang ada di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Portugis dan Spanyol adalah penyebutan kata ‘ketela’ yang diserap dari kata ‘kastela’.
Pada abad ke-16 (bahkan hingga abad ke-17) ketela pohon belum menjadi komoditas pangan yang populer di Nusantara. Sejak awal persebarannya di Jawa sekira 1860-an hingga menyebar ke Sumatra dan seluruh pulau, ketela pohon berkembang menjadi komoditas pangan yang penting di Indonesia sepanjang abad ke-20.
Popularitas ketela pohon sebagai bahan makanan rakyat secara bertahap meningkat sehubungan dengan terjadinya alih fungsi lahan kopi di dataran tinggi di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Tidak seperti jenis umbi-umbian lainnya, ketela pohon juga merupakan tanaman komersial yang selalu memiliki pasar siap pakai selain digunakan sebagai sumber makanan lokal.
Di samping itu, ketela pohon umum diolah menjadi tepung tapioka dengan pabrik-pabrik pengolahannya di Hindia yang dimiliki oleh orang-orang Tionghoa dan Eropa serta produknya diekspor ke pasaran Eropa (Boomgaard, 2003: 598).
Jelang tahun 1900, pertumbuhan budidaya ketela pohon di Jawa Barat mendorong pertumbuhan industri tapioka di Bandung dan Garut yang mana produknya diekspor hingga ke Singapura dan Inggris (van der Burg, 1904: 191; van der Eng, 1998: 9).
Sejarah Masuknya Singkong ke Indonesia
Kata ‘tapioka’ punya akar linguistik yang dalam. Berasal dari bahasa lokal ‘tipi'oka’ yang digunakan penduduk asli di bagian timur laut Brasil. Ketika penjelajah Portugis pertama kali mendarat di wilayah tersebut sekira tahun 1707, kata tersebut kemudian diserap ke dalam Bahasa Portugis dan bertransformasi menjadi ‘tapioca’ yang kita kenal hingga saat ini.
Sejarah masuknya singkong ke Indonesia diwarnai berbagai narasi yang terkadang saling bertentangan, mencerminkan kompleksitas catatan sejarah.
Salah satu teori yang paling umum menyatakan bahwa singkong pertama kali dibawa ke Indonesia oleh bangsa Portugis sekira abad ke-16. Tanaman ini diperkirakan pertama kali ditanam di Maluku, sebelum kemudian menyebar luas ke seluruh penjuru Nusantara. Beberapa sumber secara umum menyebut Portugis sebagai pembawa singkong ke bumi Nusantara.
Walakin, ada juga pandangan peneliti lain yang mengungkapkan bahwa singkong baru diperkenalkan ke Indonesia sekira tahun 1850-an. Menurut teori ini, singkong dibawa dari Peru oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Keberadaan narasi yang berbeda ini menunjukkan sifat catatan sejarah yang berlapis dan seringkali tidak lengkap, terutama terkait introduksi tanaman pada era kolonial versus pengetahuan pribumi.
Menariknya, terdapat pula teori lokal yang menyatakan bahwa singkong mungkin sudah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Disebutkan bahwa pada masa Majapahit, singkong telah menjadi makanan para pertapa, seringkali dicampur nasi sebagai simbol menanggalkan kemewahan duniawi. Jika teori ini benar, singkong bukanlah tanaman yang dibawa Portugis atau Belanda, melainkan tanaman asli Indonesia atau setidaknya sudah ada secara independen.
Terlepas dari perdebatan asal-usulnya, konsumsi singkong di wilayah Jawa pada 1875 masih tergolong rendah. Pada permulaan abad ke-20, konsumsi singkong meningkat pesat. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan penduduk di Jawa dan meluasnya pembudidayaan singkong.
Peningkatan konsumsi singkong di masa lalu seringkali dipandang sebagai tanda kemiskinan atau kesulitan ekonomi. Namun, singkong punya peran krusial sebagai makanan pengganti beras yang vital di Jawa Tengah saat masa paceklik, meski nilai proteinnya lebih rendah daripada padi.
Paradoks ini menunjukkan bahwa sementara singkong menjadi terkait dengan kesulitan ekonomi, keberadaannya dan adopsi luasnya juga berfungsi sebagai jaring pengaman yang penting. Hal itu menunjukkan ketahanan dan kemampuan beradaptasi selama periode kelangkaan. Hal itu juga memperlihatkan bagaimana tanaman pangan dapat mewujudkan tantangan sosial dan strategi bertahan hidup. Keberadaannya menjadi bukti ketahanan pangan di masa kolonial akhir.
Tepung Tapioka dan Diversifikasi Aplikasi
Tepung tapioka menjadi fondasi bagi beragam hidangan, khususnya dalam khazanah kuliner Indonesia. Salah satu karakteristik utamanya adalah rasanya yang netral, menjadikannya sangat fleksibel untuk berbagai aplikasi kuliner, baik manis maupun gurih.
Proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka membawa banyak keuntungan, di antaranya meningkatkan daya simpan produk, membuatnya lebih ringkas dan mudah diangkut, serta memperluas fleksibilitas penggunaannya dalam berbagai bentuk olahan.
Transformasi ini menunjukkan peningkatan nilai ekonomi dari komoditas pertanian dasar (singkong) menjadi produk serbaguna bernilai lebih tinggi (tepung tapioka).
Tepung tapioka memegang peran krusial dalam dunia kuliner, tidak hanya menginspirasi beragam kreasi lezat tetapi juga menjadi bahan utama dalam banyak hidangan favorit yang dicintai masyarakat. Popularitas makanan berbahan dasar aci yang terus meningkat juga telah membuka berbagai peluang bisnis yang menjanjikan, dari skala rumahan hingga waralaba.
Proses pengolahan singkong menjadi tapioka telah membuka pintu bagi diversifikasi aplikasi, dari bahan makanan pokok hingga penggunaan industri khusus, secara signifikan meningkatkan utilitas ekonominya.***