1. Home
  2. Kulineran

Pecel Lele: Makanan Jalanan yang Bertahan dari Generasi ke Generasi

Pecel lele adalah lebih dari sekadar ikan goreng dengan sambal. Ia adalah cerita tentang migrasi, adaptasi, dan perjuangan ekonomi rakyat.

Nasi uduk
Nasi uduk dengan lauk pendamping pecel lele. (Wikimedia Commons/Si Gam)

SOEAT - Di tengah hiruk-pikuk malam kota, warung tenda pecel lele berdiri kokoh di pinggir jalan. Spanduk putih dengan tulisan merah menyala “Pecel Lele Lamongan” menjadi penanda rasa yang akrab di lidah masyarakat urban.

Lele goreng garing, sambal tomat pedas, dan lalapan segar tersaji cepat, hangat, dan murah. Tapi pecel lele bukan sekadar makanan. Ia juga adalah cerminan ketahanan ekonomi rakyat dan identitas kuliner yang bertahan lintas generasi.

Pecel lele bertahan bukan karena tren, tapi karena ia menyatu dengan ritme hidup masyarakat. Ia hadir saat malam tiba, ketika perut lapar dan kantong pas-pasan. Ia adalah rasa yang diwariskan, usaha yang dilanjutkan, dan semangat yang tak pernah padam.

Dari Perantauan ke Pinggir Jalan Kota

Pecel lele
Warung pecel lele. (Google Bisnis/Aditya Rian Wibowo)

Fenomena pecel lele bermula dari para perantau asal Lamongan yang hijrah ke kota-kota besar sejak 1970-an. Mereka membawa resep “pecek lele” dari kampung halaman, lalu menyesuaikannya dengan selera lokal.

Karena di Jakarta sudah ada “pecak lele” khas Betawi, istilah “pecek” pun berganti menjadi “pecel lele” agar lebih mudah diterima.

Seiring waktu, warung tenda pecel lele menjamur di berbagai kota. Di Jabodetabek saja, diperkirakan ada lebih dari 3.000 warung pecel lele yang dikelola oleh perantau Lamongan.

Warung pecel lele bukan hanya tempat makan, tapi juga simbol perjuangan perantau Lamongan. Mereka membangun jaringan bisnis informal yang kuat, bahkan menciptakan “franchise tanpa merek” yang tersebar dari Sumatera hingga Papua.

Simbol Ketahanan Ekonomi Rakyat

Lele
Ikan lele. (Pexels/Mahmudul Hasan)

Lele adalah ikan air tawar yang mudah dibudidayakan, tahan hidup lama, dan cepat dimasak. Biaya produksinya rendah, sehingga cocok untuk usaha kuliner skala mikro.

Bagi banyak perantau, membuka warung pecel lele adalah jalan keluar dari keterbatasan ekonomi. Banyak keluarga Lamongan memulai usaha pecel lele dengan modal pinjaman koperasi, lalu berkembang dan diwariskan ke anak-anak mereka.

Di Lamongan, anak-anak diajari membuat sambal sejak kecil. Sebuah pepatah Lamongan menyebut, “Selama bisa bikin sambal, kita bisa hidup.”

Pecel lele menjadi bukti nyata bahwa kuliner sederhana bisa menopang ekonomi keluarga, bahkan membangun jaringan bisnis informal yang kuat.

Sambal pecel lele khas Lamongan menggunakan campuran kemiri, wijen, kacang tanah, dan petis ikan. Rasanya gurih, pedas, dan cocok dengan lidah berbagai suku di Indonesia. Ditambah lalapan segar dan nasi hangat, pecel lele menjadi comfort food lintas generasi.

Identitas Kuliner Urban

Lele
Pecel lele. (Cookpad)

Pecel lele bukan hanya soal rasa, tapi juga soal ritme kota. Ia hadir saat malam tiba, ketika pilihan makanan terbatas dan perut lapar setelah seharian bekerja.

Cepat saji, murah, dan mengenyangkan, pecel lele menjawab kebutuhan masyarakat urban yang serba praktis. Harganya pun terjangkau.

Spanduk khas “Lamongan” yang seragam di seluruh Indonesia menjadi identitas visual yang kuat. Di mana pun berada, konsumen langsung tahu rasa dan harga yang ditawarkan. Pecel lele menjadi comfort food malam hari, setara dengan nasi goreng dan bakso dalam hal popularitas.

Ironi Budaya: Pantangan di Kampung, Primadona di Kota

Menariknya, meski pecel lele identik dengan Lamongan, sebagian masyarakat asli Lamongan justru pantang makan lele karena alasan budaya dan mitos. Di Desa Medang, Kecamatan Glagah, misalnya, warga meyakini bahwa lele pernah menyelamatkan leluhur mereka, Boyo Pati, dari kejaran musuh.

Sebagai bentuk penghormatan, mereka bersumpah tidak akan memakan lele dan mewariskan pantangan itu kepada keturunannya.

Ironisnya, di luar kampung halaman, warga Lamongan justru dikenal sebagai pionir bisnis pecel lele. Mereka menjadikan lele sebagai ladang rezeki, meski tak semua ikut menyantapnya.***